Dimanakah Tuhan?

Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat. 27:46).

Pada puncak penderitaan-Nya di kayu salib Yesus berseru demikian sebelum Ia menyerahkan nyawa-Nya. Pertanyaan yang terlontar tersebut tentu bukanlah pertanyaan tentang eksistensi Allah. Yesus sendiri yang adalah manusia-Allah bagaimana mungkin ditinggalkan Allah. Saya memahami pertanyaan tersebut, atau lebih tepatnya pernyataan tersebut, bukan mempertanyakan eksistensi Allah tetapi merupakan ekspresi umumnya manusia ketika berada dalam penderitaan. Mungkin saat ini pertanyaan tersebut juga menggema di hati para pedagang kecil, karyawan toko, pedagang keliling di sekolah, para tukang ojek, dsb, yang kehilangan penghasilannya yang pas-pasan itu.

Pertanyaan teodise akan selalu muncul ketika manusia mengalami persoalan yang terjadi bukan karena kesalahannya. “Kalau Tuhan ada, mengapa ada kejahatan? Kalau Tuhan itu baik, mengapa ada penderitaan? Kalau Tuhan itu adil, mengapa yang benar justru yang menerima hukuman?” pada perkuliahan online minggu yang lalu seorang mahasiswa bertanya “mengapa orang yang bersalah tidak dihukum Tuhan?” Ia bertanya demikian oleh karena sering ada pertanyaan serupa yang ditanyakan kepadanya, sedangkan sebagai mahasiswa teologi ia merasa harus bisa memberikan jawabannya. Saya jawab bahwa itu adalah pertanyaan teodise, yang akan selalu ada selama manusia ada, namun tidak selalu ada jawabannya.

Biasanya untuk menjawab pertanyaan teodise tersebut digunakan pendekatan moral, iman, atau supranatural. Saya setuju bahwa ada konsekuensi dari perbuatan manusia. Tetapi konsekuensi itu juga harusnya dirasakan secara pribadi oleh pelakunya jika menggunakan pendekatan moralitas. Bukan kesalahan satu dua orang, tetapi banyak orang yang harus menanggung konsekuensinya. Saya sependapat dengan pandangan Karl Rahner bahwa manusia juga harus belajar menerima apa yang tidak dapat dipahami tersebut sebagai bagian dari diri Allah yang tidak terpahami juga. Justru dengan adanya pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat iman kita menjadi dinamis. Jika semua tentang Allah dapat kita pahami, maka selesai jugalah pengenalan kita tentang Allah. Dan Allah sudah tidak dibutuhkan lagi.

Tetapi bagaimana apabila penderitaan yang dialami seperti dampak wabah covid-19 ini, sebagai mana yang saya sebutkan di awal? Saya setuju dengan pendekatan yang ditawarkan oleh Brueggemann, yang membaca pertanyaan teodise dari dimensi kritik sosial. Seruan Yesus tersebut menjadi semacam kritik bagaimana secara sosial manusia mengalami situasi yang tidak adil, dan selanjutnya mengundang untuk menjawabnya dengan menjadi agen bagi suatu proses transformasi sosial. Menjadi agen karya keselamatan bagi mereka mengalami situasi yang tidak adil.

Referensi:

Brueggemann, W. (1985). Theodicy in a Social Dimension. Journal for the Study of the Old Testament, 10(33), 3–25. https://doi.org/10.1177/030908928501003301

Ngelow, Zakaria J., dkk. Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial. Makassar: Yayasan OASE INTIM, 2006.