Sesudah semuanya itu terlaksana datanglah para pemuka mendekati aku dan berkata: “Orang-orang Israel awam, para imam dan orang-orang Lewi tidak memisahkan diri dari penduduk negeri dengan segala kekejiannya, yakni dari orang Kanaan, orang Het, orang Feris, orang Yebus, orang Amon, orang Moab, orang Mesir dan orang Amori. Karena mereka telah mengambil isteri dari antara anak perempuan orang-orang itu untuk diri sendiri dan untuk anak-anak mereka, sehingga bercampurlah benih yang kudus dengan penduduk negeri, bahkan para pemuka dan penguasalah yang lebih dahulu melakukan perbuatan tidak setia itu.” Ketika aku mendengar perkataan itu, maka aku mengoyakkan pakaianku dan jubahku dan aku mencabut rambut kepalaku dan janggutku dan duduklah aku tertegun. Lalu berkumpullah kepadaku semua orang yang gemetar karena firman Allah Israel, oleh sebab perbuatan tidak setia orang-orang buangan itu, tetapi aku tetap duduk tertegun sampai korban petang. Pada waktu korban petang bangkitlah aku dan berhenti menyiksa diriku, lalu aku berlutut dengan pakaianku dan jubahku yang koyak-koyak sambil menadahkan tanganku kepada TUHAN, Allahku, (Ezr. 9:1-5)
Mungkin kita sering mendengar seorang pemimpin yang berkata “aku tidak peduli dengan reputasiku, aku tidak mencari nama baik.” Bagi saya itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Apa ada seorang pemimpin tanpa reputasi atau nama baik? Kalau begitu bagaimana ia akan mempengaruhi pengikutnya? Saya mengambil contoh dari narasi Ezra tersebut untuk menunjukkan bahwa pemimpin pasti butuh mendapat nama baik.
Dalam narasi tersebut Ezra yang telah tiba di Yerusalem pada bulan kelima (Ezr. 7:8) bereaksi dengan mengoyakkan pakaian dan jubahnya, mencabuti rambut dikepala dan janggutnya, duduk tertegun dari pagi sampai petang hari ketika mendengar laporan bahwa terjadi perkawinan campuran di antara penduduk Yehuda. Laporan tersebut disampaikan pada bulan kesembilan (Ezr. 10:9). Aneh bukan? Apa iya Ezra selama empat bulan di Yerusalem tidak pernah tahu ada kasus seperti itu dan baru mendengar dari laporang orang-orang itu? Sangat mungkin bahkan ketika Ezra masih di Persia pun sudah tahu hal itu. Lalu mengapa reaksinya seperti orang yang baru tahu masalah itu, terkejut, shock, terpukul.
Itulah yang disebut dengan Ezra sedang memainkan gimmick, atau setting-an, kalau istilah-istilah yang sering saya dengan tentang acara reality show di televisi. Dari definisi yang saya lihat di wikipedia, gimmick adalah suatu kemasan, tampilan yang berfungsi untuk mengelabui, menciptakan suasana, memainkan emosi, dsb. Saya kira gimmick itu sudah didesain oleh Ezra beberapa bulan sebelumnya, atau sangat mungkin juga bahkan ketika ia masih di Persia. Tujuannya ya jelas untuk membangkitkan perasaan emosiaonal mereka yang melihatnya sehingga pada akhirnya menuruti apa yang diinginkan Ezra.
Gimmick tidak selalu berarti tidak baik. Kalau dalam bahasa politik kita mengenal kata “pencitraan.” Bagi saya tidak masalah seorang pemimpin membuat pencitraan, selama memang kinerjanya juga baik, karena dengan citra baik maka lebih mudah mempengaruhi pengikutnya untuk mengikuti perkataannya. Bukankan dalam ibadah di gereja juga ada bermacam gimmick yang dibuat dengan tujuan agar terasa lebih emosional?
Comments
Dari nats tersebut, justru pemuka dan penguasalah yang pertama tama melakukan kawin campur tersebut. Dan diikuti oleh orang Israel lainnya. Dan sepertinya ada pendelegasian yang diberikan sebelumnya, sebelum Ezra pergi.
Namun tentunya tidak semua pemuka dan penguasa. Sebab ada pemuka yang melaporkan peristiwa itu kepada Ezra.
Kalau pun Ezra sekedar melakukan Gimmick untuk “caper”, rasanya hal itu mustahil. Ezra memang dari hatinya sangat dikecewakan oleh perbuatan bangsa Israel. Sehingga dia mencabuti rambut,janggut (menyiksa diri). Lanjut lagi, bangsa itu gentar karena Firman yang telah mereka dengar, bukan karena gimmick Ezra.
Kemudian, dengan peristiwa yang terjadi mengenai pemimpin gereja yang melakukan pencitraan, saya 50% setuju dengan tulisan bapak jika dilihat dari sisi menjaga nama baik pemimpin gereja. Namun, saya tidak setuju dengan pencitraan apabila pencitraan tersebut hanya sekadar pamer. Ya memang untuk mengetahui motivasi hati, ya susah.
Kemudian, pencitraan dikaitkan untuk memancing daya emosional.
Apakah daya emosional ini bisa jadi tolok ukur pertumbuhan? 1. Pertumbuhan kognitif jemaat, 2. Pertumbuhan spiritual jemaat.
Author
Saya kan sudah sampaikan di tulisan itu bahwa gimmick tidak selalu tidak baik. Gimmick yang dilakukan Ezra memberikan efek yang lebih besar terhadap firman yang disitirnya. Saya kan juga bilang untuk “caper”, tapi bagaimana ia mendapatkan cara sedramatis mungkin untuk mengaduk-aduk emosi orang Yehuda.
Tentu saja daya emosional tidak bisa menjadi tolok ukur pertumbuhan, tetapi dibutuhkan dalam proses pertumbuhan. Ingat bahwa manusia itu bukan mesin, punya psikologi, punya perasaan. Dan itu bisa dimainkan. Contohnya bagaimana para teroris didoktrinasi biasanya dengan memutarkan video2 penindasan terhadap kaumnya. Emosinya dimainkan terlebih dulu
Jadi, dalam hal ini pemimpin gereja perlu memahami kinerja dari peran psikologi.
Sehingga pemimpin gereja atau saya sebut saja pengkhotbah, bisa mengaduk aduk perasaan si pendengar. Dan harapannya adalah dari perasaan yang tersentuh ada 1. Penerimaan Firman yang tulus. 2. CAP pengakuan bahwa pendeta itu dipakai Tuhan. Hehe.
Bagaimana pak?
Lalu, perlu ndak calon2 lulusan STT masa kini diajari kiat2 brainwashing?
Efek brainwashing tidak selalu buruk pak.
Ini juga belum bicara karya Roh Kudus ya pak. Karena pembahasannya bapak memicu saya untuk bertanya secara akademis saja.
Author
Sudah saatnya teologi disinergikan dg keilmuan lainnya. Tidak perlu lagi gereja menempatkan iman di atas ilmu. Iman & ilmu bisa didialogkan bahkan bisa diintegrasikan. Saya melihatnya sebagai karya Roh Kudus yg secara kosmik mengilhami berbagai disiplin ilmu lainnya selain teologi
Sebenarnya agak ngeri2 sedap dengan hal itu. Faktanya dinamika teologi selalu dibayangi oleh teologi historis kritis. Untuk menyinergikan ilmu dengan iman bukanlah sesuatu yang sulit sebenarnya. Namun faktanya menjadi sulit karena kurangnya bahan2 referensi yang mendukung keduanya untuk beriringan.
Pertanyaannya, bagaimana gereja menyikapi ilmu (filsafat) sebagai partner iman?
Banyaknya aras filsafat (humanisme, empirisme,materialisme,rasionalisme, empirisme skeptik dll), menjadikan teologi hanya sebuah ilmu yang bersufat normatif belaka.
Kalau saya sementara ini menyikapi keberagaman tersebut hanyalah sebagai langkah mendekati kehidupan manusia.
Author
Kalau sekarang untuk mencari sumber referensi tidaklah sulit, terutama sudah tersedia jurnal dengan berbagai latar belakang penulisnya. Yang diperlukan adalah sikap keramahan (hospitalitas), yang artinya kesediaan menempatkan yang lain itu dalam kedudukan yang sama dengan kita. Karena selama ini kita memegang kuat2 supremasi, entah itu kekristenan atau bahkan mungkin kelompok kita. Yang lain selalu ditempatkan di bawah kita. Akan saya bahas dalam coretan saya selanjutnya tentang ini.
Khusus mengenai pendekatan dalam tafsir modern saat ini tidak hanya memberi tempat pada kesejarahannya tetapi juga pembaca masa kini dengan berbagai perspektifnya