Dan sesudah berunding dengan tua-tua, mereka mengambil keputusan lalu memberikan sejumlah besar uang kepada serdadu-serdadu itu dan berkata: “Kamu harus mengatakan, bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri-Nya ketika kamu sedang tidur.” (Mat. 28:12-13)
Peristiwa kebangkitan Yesus merupakan pukulan berat bagi para imam kepala dan tua-tua Yahudi yang selama ini merasa pengaruhnya sudah tergerus oleh sepak terjang Yesus. Tidak bisa dibayangkan kalau sampai masyarakat Yahudi tahu tentang kebangkitan Yesus itu, maka itu akan menjadi titik nadir bagi kekuasaan dan pengaruh mereka atas masyarakat. Untuk menyelamatkan dari kehancuran tersebut, maka langkah yang dilakukan adalah menciptakan narasi yang lain, yaitu narasi bahwa Yesus tidak bangkit tetapi mayatnya dicuri murid-murid-Nya. Dan terbukti itu menjadi sarana yang efektif, paling tidak untuk tetap memelihara kesetiaan pengikut-pengikut mereka.
Kalau misalnya dilemparkan sebuah pertanyaan, gereja mana yang paling terpukul dengan covid-19? Maka, saya akan menjawab gereja yang selama ini mendewakan praktik-praktik supranatural. Bagaimana tidak, apa yang selama ini diagung-agungkan ternyata seperti tidak berdaya berhadapan dengan covid-19. Para pengikutnya sedikit banyak tentu mulai terguncang dengan kenyataan ini. Lalu apa yang dilakukan untuk menyelamatkan situasi tersebut sehingga paling tidak bisa tetap memelihara kesetiaan pengikutnya? Sebagaimana yang dilakukan imam kepala dan tua-tua Yahudi tersebut adalah membuat narasi lainnya. Dibangunlah suatu narasi bahwa di alam roh peperangan terhadap covid-19 sudah dimenangkan oleh hamba-Nya yang telah dipilih-Nya. Yang ada di dunia ini tidak lama lagi juga akan selesai.
Masuk akalkah? Narasi yang dibangun tidak perlu harus masuk akal. Ini era post truth (pasca kebenaran). Era di mana fakta objektif nomor dua, yang nomor satu adalah apa yang diyakini. Kabar hoax adalah produk dari post truth. Tidak harus benar, yang penting bisa memuaskan apa yang diyakini. Tujuannya kan hanya untuk mempertahankan keyakinan seseorang akan sesuatu yang pada akhirnya dapat mempertahankan loyalitasnya.
Comments
Saya pun kurang yakin apabila jemaat yang mengagungkan praktek supranatural tersebut, terguncang keyakinannya. Mengapa? Karena seperti tulisan bapak sendiri, orang jaman sekarang suka sekali pekabaran post truth atau pekabaran berupa narasi2 panjang yang bercerita suatu kehidupan nyata yang dialami si pembicara (dibaca kesaksian).
Saya pun diperkuat dengan pernyataan seorang Doktor Teologi di salah satu STT di Jakarta. Beliau menyatakan bahwa anak2 muda era milenila lebih menyukai berita2 kesaksian ketimbang doktrin2 dasar gereja.
Lalu saya bertanya tanya, hal ini termasuk perkembangan atau kemerosotan? Atau ada solusi untuk menjembataninya?
Author
Kalau ditanyakan perkembangan ataukan kemerosotan, ya tergantung dari perspektif siapa menjawabnya. Gereja Pentakosta-Karismatik (GPK) dalam halperhatian terhadap doktrin beda dengan Calvin misalnya yang begitu ketat terhadap doktrin. GPK pada umumnya menempatkan doktrin tidak lebih tinggi dari pimpinan spiritual. Jadi jemaat di GPK lebih banyak gak mau tahu tentang doktrin, yang mereka tahu ya gembalanya, itu yang mereka ikuti
Author
Maksudnya gimana?
Gereja Pentakosta berbeda dengan gereja karismatik dalam hal esensi pengajaran. Pentakosta menekankan kekudusan, keserdahanaan dan hidup bergantuk pada Roh Kudus.
Karismatik menenkankan mujizat, kesuksesan
Author
Iya. Tapi keduanya sama dalam hal pemimpin rohaninya memegang peran sentral. Bukan doktrinnya, bukan juga sinodenya. Pemimpin rohaninya ngomong apa, itu yang diikuti jemaatnya. Dan gerakan pentakosta seperti yang saya sebutkan sifatnya non denominasi. Masuk mempengaruhi ajaran pimpinan di GPK tanpa harus keluar dari denominasinya