Pasca peristiwa pencurahan Roh Kudus (Pentakosta) orang-orang percaya mengalami pengalaman yang baru. Kisah Para Rasul mencatat banyak sekali mujizat yang terjadi dan dilakukan oleh para rasul maupun orang-orang percaya. Orang lumpuh yang kemudian bisa berjalan, orang buta yang melihat, orang-orang yang sakit disembuhkan secara ajaib, dan sampai kepada pengusiran setan. Perbuatan-perbuatan ajaib tersebut secara masif terjadi di gereja mula-mula. Tidak heran apabila dalam tradisi gereja-gereja Pentakosta-Karismatik mujizat-mujizat atau tanda-tanda ajaib mendapatkan tempat yang istimewa dalam pengajarannya. Tidak jarang bahkan ada yang memasukkan kepercayaan akan mujizat sebagai bagian dari Pengakuan Iman Rasuli sinode gereja tersebut. Namun, seperti yang pernah saya singgung dalam tulisan saya sebelumnya, pada masa pandemi covid-19 saat ini saya belum melihat adanya realitas mujizat yang terjadi seperti di gereja mula-mula. Gereja bahkan harus tunduk dengan protokol yang ditetapkan oleh kementerian kesehatan untuk menghindari terinfeksi virus covid-19. Hal yang dalam beberapa periode yang lalu merupakan sesuatu yang tabu bagi sebagian gereja Pantekosta-Karismatik untuk tunduk kepada akal pikiran manusia, yang dimaknai sama dengan telah kehilangan imannya dan telah mengandalkan manusia. Lalu bagaimana kita harus memahami mujizat sebagaimana yang terjadi di gereja mula-mula tersebut dalam konteks modern khususnya saat menghadapi pandemi?
Saya memperhatikan bahwa selama ini mujizat-mujizat tersebut selalui dipahami secara tekstual dan dianggap sebagai sesuatu yang normatif, yang artinya bahwa apa yang terjadi di gereja mula-mula tersebut “dipaksakan” harus juga terjadi di gereja sepanjang zaman, sebagai tanda yang menyertai orang-orang percaya atau orang-orang yang dipenuhi Roh Kudus. Saya mencoba memahami mujizat-mujizat tersebut dengan pendekatan hermeneutik demitologisasi yang digagas oleh Rudolf Bultmann. Sebagai catatan, demitologisasi Bultmann tidaklah sama dengan demitologisasi menurut sains atau ilmu sejarah. Demitologisasi menurut sains atau ilmu sejarah akan menyingkirkan atau menolak segala yang sifatnya tidak rasional atau tidak otentik menurut fakta ilmiah. Bultmann juga menolak pemahaman yang demikian. Menurut Bultmann, mitos sendiri adalah bentuk pemahaman terhadap cara ber-ada, di mana menurut Heidegger manusia dipahami sebagai situasi meng-ada (dasein). Dan demitologisasi adalah upaya untuk memahami cara ber-ada tokoh-tokoh dalam kitab suci tersebut. Jika kemudian saya mendemitologisasikan peristiwa-peristiwa ajaib dalam Kisah Para Rasul bukan berarti bahwa saya tidak mempercayai mujizat-mujizat tersebut benar-benar terjadi, tetapi mujijat tersebut adalah cara bagaimana orang-orang percaya di gereja mula-mula meng-eksistensikan dirinya. Kita tahu bahwa orang-orang percaya di gereja mula-mula termasuk pada kelompok tertindas (oppressed), yang salah satunya ditandai dengan masalah-masalah kemiskinan di antara orang-orang itu. Mujizat-mujizat itu kemudian dapat dipahami sebagai cara mereka melakukan pembebasan (liberation) dari ketertindasan tersebut. Petrus sendiri mengatakan, “emas dan perak tidak ada padaku” (Kis. 3:6), jadi bagaimana kemudian ia mau membebaskan kelumpuhan orang tersebut jika tidak melalui mujizat.
Jika kita telah memahami bahwa mujizat di gereja mula-mula adalah cara ber-ada orang-orang percaya pada saat itu dalam konteks pembebasan (liberation), maka kita juga dapat memahami dengan baik mujizat di era modern, terutama di tengah-tengah pandemi saat ini. Di tengah-tengah situasi pandemi ini banyak gereja yang melakukan tindakan-tindakan pembebasan, seperti membagi-bagikan makanan kepada orang-orang yang terdampak, menyumbang APD atau peralatan medis lainnya untuk membantu tenaga-tenaga medis, dan beberapa kegiatan lainnya. Gereja-gereja yang berbuat demikian pun sebenarnya juga mengalami penurunan keuangan sebagai dampak pandemi, namun masih dapat berbuat menolong yang lainnya. Apakah tidak dapat dikategorikan sebagai mujizat? Memang tentu mujizat dalam pengertian epistimologi.