Mujizat Itu (tidak) Nyata

Di era yang sudah sangat canggih ini, masih banyak orang yang percaya dan mengejar keajaiban. Hal itu terlihat misalnya ketika ada muncul sosok yang bisa menyembuhkan di luar prosedur medis. Seperti misalnya dulu sempat viral batu Ponari dan juga penyembuhan patah tulang oleh Ida Dayak. Kalau di kalangan kekristenan, terutama aliran Pentakosta-Karismatik, sudah lazim dengan dorongan agar orang mempercayai adanya mujizat yang akan menyelesaikan masalah atau menyembuhkan penyakit dengan seketika. Lalu apakah betul memang keajaiban atau mujizat itu memang ada, ataukah itu semua sebenarnya ilusi saja? David Hume, seorang filsuf positivistik empiris, mengatakan bahwa seringkali pikiran manusia menilai peristiwa yang terjadi secara beriringan sebagai peristiwa sebab-akibat. Misal, bola A dan bola B yang masing-masing bergerak dalam lintasannya sendiri dan kemudian bersentuhan, dan setelah itu salah satu bola tersebut masuk ke dalam lubang. Pada umumnya manusia akan berpikir bahwa masuknya salah satu bola tersebut adalah karena sentuhan yang dilakukan oleh bola lainnya. Padahal, belum tentu begitu juga. Setiap bola tersebut punya peluang masing-masing untuk bisa masuk ke dalam lubang tanpa harus ada intervensi dari luar. Tinggal peluangnya besar atau kecil, itu saja.

Untuk lebih jelasnya saya akan memberikan contoh konkrit misalnya orang yang diyakini sembuh dari penyakit yang parah, yang sudah tidak bisa ditangani medis lagi, setelah didoakan oleh seorang tokoh karismatik. Apakah betul doa tersebutlah yang menyebabkan kesembuhan orang yang sakit parah itu? Pertama kita perlu melihatnya dulu bahwa ada dua peristiwa, yaitu: orang sakit parah yang sembuh dan tindakan mendoakan. Selanjutnya kita perlu menganilisis apakah kedua peristiwa itu merupakan peristiwa sebab akibat ataukah peristiwa yang terjadi secara beriringan saja. Untuk menjawabnya kita perlu ingat adanya teori probabilitas atau peluang, yaitu bahwa segala sesuatu ada peluangnya, meskipun kecil. Dan peluang yang kecil itu bisa saja justru yang muncul. Dalam hal sakit yang sudah sangat parah, peluang untuk sembuh tetap ada, meskipun kecil. Jadi, tidaklah bisa disebut sebagai mujizat ketika peluang yang sangat kecil itu yang justru muncul, sementara peluang yang besar justru tidak mucul. Sakit apapun tetap bisa sembuh dengan sendirinya, dengan ada atau tidak ada intervensi dari luar, meskipun peluang atau kemungkinannya sangat kecil. Lho, tapi kan orang tadi sembuh setelah mendapat perlakuan didoakan? Oke, kita perlu uji lagi apa betul tindakan itu yang menyebabkan sakit itu sembuh. Bagaimana cara mengujinya? Sederhana saja, jika memang tindakan mendoakan tersebut sebagai sebab kesembuhan orang itu, maka tentunya itu juga terjadi pada kasus lainnya. Jika setiap didoakan penyakit yang parah bisa sembuh, maka kita bisa menilai bahwa memang doa itulah yang menyebabkan penyakit itu sembuh. Namun jika hanya satu dua atau sangat sedikit kasus saja yang bisa demikian, itu berarti keduanya hanya peristiwa yang beriringan saja yang kebetulan terlihat seperti punya hubungan sebab-akibat.

Lalu bagaimana jika ternyata memang keajaiban itu hanyalah ilusi dari probabilitas peristiwa yang beriringan? Tugas manusia adalah untuk memahami bagaimana alam ini bekerja. Tugas manusia bukanlah untuk mengejar mujizat atau mendatangkan mujizat. Bukankah merupakan hal yang sangat narsis jika kita menginginkan Tuhan membengkokkan hukum alam hanya demi kepentingan kita? Maka, yang penting untuk kita lakukan adalah memahami mekanisme kerja alam. Jika mekanisme kerja alam adalah berpihak kepada orang yang bekerja keras dan kemudian memberikan kesuksesan kepadanya, maka itu artinya untuk sukses kita harus bekerja keras. Jangan menunggu keajaiban untuk sukses.