Ilusi Servant Leadership

Matius 20:25-27 (TB) Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: “Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.”

Sangat sering ayat ini dijadikan sebagai dasar untuk mengajarkan kepemimpinan Kristiani. Di situ sering disampaikan bahwa model kepemimpinan yang dikehendaki Yesus adalah model kepemimpinan yang melayani/menghamba (servant leadership). Seseorang yang ingin menjadi pemimpin yang baik berarti harus mau menempatkan diri sebagai pelayan bagi orang-orang yang dipimpin. Saya justru melihat pengajaran tersebut keliru. Saya tidak melihat bahwa teks tersebut sedang mengajarkan model kepemimpinan. Atau, kalau ayat tersebut dipaksakan diadopsi sebagai model kepemimpinan, maka hanya akan menghasilkan kepemimpinan yang lemah. Untuk memahaminya, saya mengajak terlebih dahulu untuk mencermati bagimana teks tersebut lahir. Teks tersebut ditulis oleh komunitas Matius dengan imajinasi sebagai komunitas marginal. Sebagai kemunitas marginal, sudah jelas bahwa kekuasaan adalah barang mahal bagi mereka yang hanya bisa mereka impikan. Mereka juga berhadapan dengan kekuasaan yang mungkin membuat mereka terpinggirkan. Oleh karena itu, harapan mereka adalah tentang memiliki pemimpin yang bertindak penuh welas asih, dan melayani mereka. Mengapa ada kualifikasi pelayanan dalam harapan mereka? Sebagai kelompok marginal, maka hal melayani itu sudah biasa bagi mereka, karena mungkin banyak dari mereka adalah budak. Jadi mereka lebih akrab dengan perhambaan ketimbang dengan kekuasaan. Jadi, pemimpin yang melayani itu adalah harapan ideal mereka. Namun, yang ideal tersebut bukanlah yang riil. Yang nyata adalah yang disebutkan dalam kalimat yang mendahului, yaitu bahwa penguasa itu memerintah dengan tangan besi dan keras.

Untuk lebih jelas lagi saya meminjam pemikiran Niccolo Machiavelli. Menurut Machiavelli, penguasa yang baik adalah penguasa yang menggunakan cara-cara yang menjauhi kebaikan atau moral-etis pada umumnya dalam menjalankan kekuasaannya. Tanggung jawab utama seorang pemimpin bukanlah untuk melayani, namun untuk menjamin bahwa kekuasaannya tetap berjalan dengan baik. Hal itu tentu saja masuk akal, karena jika tidak ada kestabilan dan keberlanjutan dalam kekuasaannya tentunya apa yang sudah ia rancang atau kerjakan selama ini akan tidak terlaksana atau menjadi sia-sia. Seorang pemimpin harus tahu bagaimana memerintah, jadi bukan tahu bagaimana melayani. Namun, memang betul bahwa seorang pemimpin juga harus bisa memelihara ilusi bahwa ia memimpin semata-mata untuk melayani, bahwa ia mengorbankan dirinya untuk orang lain. Ilusi-ilusi tersebut bisa terus dipertahankan dengan cara mencitrakan diri sebagai orang yang baik dan dermawan. Di sisi lain, ia juga harus memiliki sisi jahat atau kejam. Ia harus berani bersikap kejam kepada siapapun yang bisa berpotensi merongrong kekuasaannya. Oleh karena itu menurutnya, jika tidak bisa keduanya, maka lebih baik memilih menjadi orang yang ditakuti daripada orang yang dicintai. Seorang pemimpin yang ditakuti akan mudah meraih kepatuhan orang yang dipimpinnya. Kita dapat melihat itu pada sosok pemimpin-pemimpin besar dunia, seperti Hitler, Napoleon, Mussolini, Stalin, dsb. Sebaliknya, pemimpin yang dicintai namun tidak ditakuti justru kerap berakhir tragis, seperti Mahatma Gandi yang dibunuh oleh penggemarnya sendiri.

Dari apa yang sudah saya uraikan tersebut, maka kepemimpinan yang melayani itu sebenarnya hanya ilusi saja. Kenyataannya, pemimpin yang besar adalah pemimpin yang tahu seni memerintah dan mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Tidak ada pemimpin yang menghamba. Pemimpin ya pemimpin, hamba ya hamba. Keduanya tidak bisa disatukan. Sebagai contoh kepemimpinan di gereja. Ia tidak bisa hanya melayani saja sebagaimana dalam teks Matius di atas. Ketika ada anggota yang berpotensi mengancam struktur kekuasaan atau sistem nilai (doktrin, ajaran) di gereja, pasti akan diambil berbagai cara, dari yang halus sampai yang keras, untuk menyingkirkan orang tersebut. Itu artinya, pelayanan yang dilakukan pun tidak semata-mata untuk kepentingan orang yang dilayani, namun yang diutamakan adalah untuk kepentingan struktur kekuasaan tersebut dapat tetap bertahan.

Jadi betul bahwa seorang pemimpin haruslah bertangan besi agar ditakuti, namun juga jangan sampai berlebihan agar tidak justu menimbulkan kebencian. Dengan demikian, apa yang tertulis dalam teks Matius di atas bukanlah sebuah model ataupun etika bagi kepemimpinan. Mungkin bisa kalau hanya sebatas etika relasi sosial, namun bukan etika bagi seorang pemimpin. Karena pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang ditakuti, yang perintahnya dipatuhi, dan kehadirannya menggetarkan. Pemimpin yang menghamba memang ideal, dan itu juga yang saya harapkan. Namun, realitasnya berbeda, sehingga itu hanya menjadi impian utopis semua orang yang dipimpin.