Jawab Yesus kepadanya: “Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” (Yoh. 4:13-14)
Ayat di atas merupakan potongan percakapan Yesus dengan seorang perempuan Samaria yang dalam kisah tersebut bertemu di tepi sebuah sumur di Samaria. Umumnya pembaca selama ini menilai bahwa perempuan tersebut bukanlah perempuan baik-baik berdasarkan teks yang menyebutkan bahwa perempuan tersebut pergi untuk mencari air ke sumur pada siang hari (4:6), konon untuk menghindari bertemu dengan orang banyak, dan bahwa ia tidak mempunyai suami namun telah hidup bersama dengan lima orang pria (4:16-18). Wajar jika pembaca umumnya menilai ia bukanlah perempuan baik-baik, apalagi ia adalah seorang Samaria, yang oleh orang Yahudi juga dianggap buruk. Perjumpaan dengan Yesus membawa perempuan tersebut mengenal adanya air sejati yang memancar sebagai mata air dari dalam dirinya selama-lamanya. Percakapan dengan Yesus tersebut telah membebaskan hidup perempuan Samaria tersebut. Namun, apa yang dimaksud dengan air yang menjadi mata air yang memancar dari dalam diri seseorang?
Saya mencoba memahami maksud ungkapan tersebut melalui pemikiran Jacques Lacan, seorang psikolog Perancis, yang sekaligus pengikut pioner psikoanalisis, Sigmun Freud. Lacan mengembangkan pemikiran “alam bawah sadar” Freud dengan mengolaborasikan dengan pemikiran Ferdinand de Saussure dan Levi Strauss tentang simbol bahasa. Yang menarik dari pemikiran Lacan adalah tentang perjalanan hidup manusia yang melalui beberapa fase. Fase pertama dapat disebut dengan fase mistis, yang merupakan kemenyatuan diri dengan yang ada di luar dirinya. Fase ini fase di mana bayi menyatu dengan ibunya dalam kandungan. Ia dan ibu menyatu dalam segala hal. Bayi makan dan minum apa yang dimakan dan diminum ibunya. Apa yang dirasakan ibunya juga dirasakan oleh bayinya. Maka, orang yang mengejar jalan mistis adalah orang yang mengejar kemenyatuan dirinya dengan yang di luar dirinya, misalnya dengan yang ilahi. Ia seolah-olah mampu merasakan perasaan dan pikiran Tuhan melalui kemenyatuan tersebut.
Fase kedua bisa disebut dengan fase simbolis atau fase imajiner. Fase di mana manusia mulai mengenal dirinya melalui cermin. Bayangan di cermin membantunya melihat dirinya secara utuh, dari kepala sampai kaki. Namun, yang ada di cermin itu hanyalah bayangan dari dirinya. Yang dilihat di cermin bukanlah dirinya yang riil. Memang manusia bisa mengenal dirinya sendiri melalui (orang) yang lain. Namun itu semua hanyalah imajinasi, bukan aslinya. Imajinasi itu berasal dari lingkungannya dan kemudian diinternalisasi untuk menyesuaikan dirinya dengan imajinasi yang diberikan lingkungan tersebut. Misal, seorang perempuan berusaha memiliki kulit putih oleh karena imajinasi kecantikan menurut lingkungannya adalah yang berkulit putih. Sementara, kelompok masyarakat yang lain mungkin memiliki imajinasi kecantikan yang berbeda sehingga perempuan di kelompok masyarakat tersebut akan mengikuti imajinasi tersebut. Itu adalah dunia simbolisme, bukan dunia riil. Diri tidak menjadi otentik karena hanya mengikuti simbol-simbol yang disepakati dalam masyarakat. Dalam kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria tersebut, telihat bahwa perempuan itu masuk dalam dunia imajinasi. Imajinasi bahwa ia adalah orang Samaria dan bukan orang Yahudi. Bahwa ia mengimajinasikan dirinya bukan perempuan baik-baik karena ia telah hidup bersama lima orang pria, dan masyarakat mengatakan itu sebagai perbuatan yang tidak bermoral. Maka ia menghindari berjumpa dengan orang banyak, karena ia telah melihat melalui “cermin” bahwa dirinya bukan perempuan baik-baik.
Perempuan Samaria itu pada akhirnya mengalami pembebasan setelah menemukan “air yang sejati” dan bukan “air imajinatif.” Inilah fase dunia nyata yang dimaksud oleh Lacan. Dunia yang sejati justru tersimpan dari dalam diri manusia itu sendiri, yang sering dikenal dengan alam bawah sadar. Di situlah terdapat sesensi seseorang yang otentik, yang tidak mengenakan topeng-topeng agar diterima orang yang di luar dirinya. Pengalaman diri pribadi itulah yang otentik. Maka Yesus menolak ketika perempuan Samaria tersebut menyebutkan tentang tempat beribadah bagi orang Yahudi dan Samaria, dan menyatakan bahwa tiba saatnya untuk menyembah Tuhan bukan di tempat ini atau itu seperti yang ditentukan oleh masyarakat, tetapi menyembah dalam roh dan kebenaran (4:20-24). Itulah penyembahan yang otentik. Spirtualitas yang otentik adalah spiritualitas yang berangkat dari pengalaman pribadi, yang kemudian keluar membanjiri diri. Yesus yang otentik adalah Yesus yang dikenali secara pribadi, entah apapun itu bentuk dan rupa pengenalannya. Gambaran-gambaran Yesus yang diperkenalkan dalam doktrin-doktrin bukanlah Yesus yang otentik, karena itu adalah Yesus hasil konsensus masyarakat agama, yang kemudian sering dipaksakan untuk diterima. Bagi yang menolak imajinasi yang diberikan tersebut akan di-cap sesat dan menyimpang.
Penerimaan atas keontentikan diri itulah yang kemudian akan membebaskan hidup manusia. Apa yang mengalir dari dalam itu tidak terbatas, seluas dan sedalam pengalaman manusia. Maka, Lacan pun mengakui banyak yang belum diketahui dari dunia sejati itu. Perempuan Samaria itu tidak lagi takut bertemu dengan banyak orang (4:28). Ia sekarang menjadi dirinya sendiri, tidak terlalu memperdulikan lagi bagaimana judment masyarakat yang sering kali tidak (mau) memahami mengapa ia berbuat seperti itu. Itulah air yang sejati, yang memancar dari dalam dirinya sendiri, dari pengalamannya sendiri berjumpa dengan Yesus, yang tidak pernah menghakimi yang ia perbuat.