Ezra 3:3 Mereka mendirikan mezbah di atas dasarnya saat di tengah ketakutan atas penduduk di negeri itu. Maka mereka mempersembahkan korban bakaran bagi TUHAN, korban bakaran untuk pagi hari dan korban bakaran untuk petang hari
Setibanya orang-orang Yehuda pembuangan di kota-kota mereka masing-masing, mereka kemudian berkumpul di Yerusalem untuk mendirikan mezbah korban bakaran di tempat di mana dulu mezbah tersebut berdiri, yaitu di reruntuhan Bait Suci (Ezr. 3:5). Yang menarik perhatian di sini adalah selain daripada catatan peristiwa dimulainya pengurbanan tetap dan juga perayaan hari raya Pondok Daun, di ayat 3 disinggung mengenai keberadaan penduduk negeri itu yang membuat ketakutan atau teror terhadap orang-orang yang baru kembali dari pembuangan. Siapakah yang dimaksud dengan penduduk negeri itu? Istilah Ibrani yang digunakan adalah ՙamme, yang merupakan bentuk jamak dari ՙam (umat). Istilah “umat” dalam Perjanjian Lama biasanya hanya dipakai untuk merujuk kepada bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah. Jika hendak merujuk bangsa lain, maka istilah yang digunakan adalah goy. Jika demikian, maka yang dimaksud sebagai “penduduk negeri” yang mendatangkan teror bagi orang-orang yang kembali dari pembuangan tersebut sebenarnya juga sama-sama orang Yahudi juga, sama-sama umat Yahweh.
Lalu mengapa mereka ditempatkan seperti musuh? Secara pandangan teologis, orang-orang Yehuda yang kembali dari pembuangan tersebut adalah kelompok agama Yahudi garis keras, yang nantinya dalam Perjanjian Baru bertransformasi sebagai agama Yudaisme. Sedangkan yang disebut sebagai penduduk negeri itu adalah Yahudi asimilasi, atau sering dicap sebagai Yahudi sinkretis. Sudah biasa, seperti di negara kita, masih satu agama dan keyakinan saja saling mengkafirkan atau memberi cap sesat hanya karena perbedaan cara memahami agamanya. Tetapi, menurut saya ada alasan lain, yang tidak kasat mata namun justru itulah yang paling mempengaruhi permusuhan itu, yaitu alasan politis dan ekonomi. Yang disebut sebagai penduduk negeri adalah mereka yang oleh Nebukadnezar tidak diangkut ke pembuangan Babel. Mereka umumnya adalah orang-orang miskin, tua, dan tidak memiliki potensi. Mereka kemudian diberikan ijin untuk menguasai tanah-tanah yang ditinggalkan oleh orang-orang yang dibuang ke Babel. Nah, inilah yang kemudian memunculkan ketegangan ketika orang-orang pembuangan tersebut kembali lagi ke Yehuda. Jadi menurut saya sebenarnya di sinilah letak sumber konflik tersebut yang kemudian ditambah dengan bungkusan faham agama, maka seolah-olah menjadi konflik antara orang beriman dan tidak beriman, orang rohani dan duniawi. Padahal sebenarnya sama, duniawi semua alasan utamanya, urusan tanah, urusan ekonomi, urusan pengaruh politik dan kekuasaan di negeri itu.
Saya memperhatikan praktik-praktik spiritual yang banyak dilakukan oleh gereja Pentakosta-Karismatik yang benarnya itu adalah pengaruh ajaran dari gelombang keempat gerakan pentakostalisme yang dinamai sebagai New Apostolic Reformation. Praktik-praktik seperti peperangan melawan roh territorial, peperangan dengan doa penyembahan, doa mengelilingi kota/ suatu tempat, doa yang mengklaim (berdoa bukan memohon, tapi mengklaim sesuatu sambil mengepalkan tangan ke atas hehehe…). Itu semua begitu mengesankan sebagai suatu tingkat kerohanian yang tinggi, yang mungkin akan membuat kelompok gereja di luar golongan tersebut merasa minder karena berasa kalah rohani, kalah iman. Namun, apa tujuan mereka dengan praktik-praktik seperti ini? Ternyata tujuannya adalah berupa terwujudnya transfer kekayaan dari orang-orang berdosa ke mereka, dan mereka akan menjadi pemimpin/ penguasa segala bidang kehidupan di dunia ini. Rohani tapi untuk tujuan duniawi. Itulah yang saya sebut sebagai spiritualitas duniawi. Ternyata orang duniawi juga punya spiritualitas, bahkan bisa melebihi orang yang benar-benar rohani. Tapi ya itu, ujung-ujungnya ya tetap duniawi. Iman dan kerohanian hanya sebagai kendaraan saja menuju keduniawian. Yah, semacam politisasi iman mungkin hehehe…
Referensi
Smith, Morton. Demi Nama Tuhan: Berbagai Aliran & Kelompok Politik Di Palestina Kuno Yang Memengaruhi Pembentukan Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Willamson, H. G. M. Word Biblical Commentary: Ezra-Nehemiah. Vol. 16. Dallas: Word, Incorporated, 2002.