Agama dan Politik

Ketika itu aku ini juru minuman raja. (TB-LAI, Neh. 1:11b)

Nehemia adalah pemimpin orang-orang Yahudi yang kembali dari pembuangan pada tahap ketiga. Ia adalah pemimpin kelompok Yahudi puritan, sama seperti pemimpin orang-orang yang kembali dari pembuangan sebelumnya, yaitu Zerubabel, Imam Yeshua, dan Imam Ezra. Menariknya adalah disebutkan bahwa pada waktu di Persia dia adalah seorang juru minuman raja. Sebagai juru minuman raja, selain karena keahliannya dalam meracik minuman bagi raja, ia juga secara tidak resmi adalah orang kepercayaan raja. Namun, ada hal lain yang membangkitkan pertanyaan terkait jabatannya sebagai juru minuman raja. Biasanya, seorang juru minuman raja adalah sida-sida atau orang yang dikebiri, meskipun tidak semuanya demikian. Namun demikian saya cenderung mengikuti spekulasi bahwa ia adalah seorang yang dikebiri dengan argumentasi bahwa dalam catatan kitab Nehemia ini ia tidak menyebut-nyebut tentang keluarganya, yang sering disebutkan adalah saudara-saudaranya atau orang-orangnya. Tetapi, jika ia seorang kebiri bagaimana menjelaskan kenyataan bahwa ia adalah pimpinan kelompok garis keras dalam agama Yahudi, sedangkan ada larangan bagi orang-orang kebiri untuk menjadi bagian dari jemaah Israel? Ulangan 23:1, “Orang yang hancur buah pelirnya atau yang terpotong kemaluannya, janganlah masuk jemaah TUHAN” (TB-LAI). Inilah yang kemudian memantik pertanyaan bagaimana seorang yang secara legal dalam agama tidak layak, namun justru menjadi pemimpin kelompok tersebut?

Saya akan menjawabnya melalui dinamika perpolitikan modern, dan sekaligus juga menjawab pertanyaan yang bisa jadi muncul juga dalam dinamika perpolitikan tersebut dari aspek ideologis narasi Nehemia ini. Jadi jawabannya akan menjawab secara dua arah. Pertama, saya mengajak untuk melihat peristiwa politik di Amerika. Kemenangan Presiden Donald Trump dalam pilpres di AS tidak dapat dilepaskan dari dukungan kelompok Kristen Evangelikal. Mengapa kelompok yang dikenal fundamental dan puritan ini justru mendukung Donald Trump yang diketahui secara luas memiliki moralitas yang buruk? Apakah mereka tidak tahu akan hal itu? Saya kira tentu saja mereka mengetahui hal itu, tetapi pilihan tersebut diambil tentunya karena melihat bahwa Donald Trump menawarkan isu politik yang sesuai dengan harapan kelompok evangelical, yaitu anti aborsi, anti pernikahan sejenis, dan anti imigran dari negara Timur Tengah. Jadi, bukan karena Trump memenuhi standar moralitas kelompok tersebut, tetapi karena ia dianggap dapat mewujudkan aspirasi mereka.

Kedua, kita juga bisa mengingat pilpres di Indonesia tahun 2019 yang lalu. Mungkin terbersit pertanyaan mengapa kelompok garis keras agama di Indonesia justru secara mati-matian mendukung calon presiden yang secara agama justru banyak diragukan kereligiusannya? Saya kira polanya sama seperti politik di AS tersebut. Siapapun dia yang dianggap bisa mewujudkan aspirasi kelompoknya itulah yang akan didukung. Hal memenuhi syarat dalam standar kesalehan agama itu nomor dua, dan bisa dicarikan pembenarannya. Jadi, hal Nehemia tersebut bisa dijelaskan dari dua kenyataan politik tersebut. Nehemia dipilih sebagai pemimpin kelompok Yahudi tersebut oleh karena Nehemia dianggap sebagai orang yang potensial dapat mewujudkan agenda kelompok Yahudi yang sedang berusaha memulihkan kembali identitas kebanggaan mereka.

Dipilihnya Nehemia juga nampaknya menjadikannya mempunyai sikap lebih radikal dibandingkan Imam Ezra. Kita bisa melihat perbedaan cara Nehemia dan Ezra dalam menangani masalah kawin campur di kalangan orang Yahudi. Nehemia tidak segan-segan mempersekusi orang Yahudi yang dianggap bertindak berlawanan dengan hukum Taurat (Neh. 13:25). Bandingkan dengan Imam Ezra yang justru merespon dengan gimik seperti yang saya tulis dalam coretan sebelumnya (Ezr. 9:3). Nampaknya, seseorang yang tidak layak namun kemudian diterima dan bahkan diangkat sebagai pemimpin dalam kelompok yang radikal bisa membuatnya menjadi lebih radikal dari orang yang seharusnya lebih patut bersikap radikal. Lihat saja dalam dinamika perpolitikan di Indonesia, politisi yang sebenarnya dari partai non agama tetapi justru paling kencang berteriak tentang isu agama dibandingkan dengan politisi yang berasal dari partai berbasiskan agama.

Referensi

Gertz, Jan Christian, Angelica Berlejung, Konrad Schmid, and Marcus Witte. Purwa Pustaka: Eksplorasi Ke Dalam Kitab-Kitab Perjanjian Lama Dan Deuterokanonika. Edited by Robert Setio and Atdi Susanto. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017.

Grabbe, Lester L. Ezra-Nehemiah: Old Testament Readings. London: Routledge, 2005.

Robbins, Vernon K. The Tapestry of Early Christian Discourse: Rhetoric, Society, and Ideology. New York: Routledge, 1996.

Smith, Morton. Demi Nama Tuhan: Berbagai Aliran & Kelompok Politik Di Palestina Kuno Yang Memengaruhi Pembentukan Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.

Willamson, H. G. M. Word Biblical Commentary: Ezra-Nehemiah. Vol. 16. Dallas: Word, Incorporated, 2002.