Hegemoni dan Lunturnya Kesadaran

Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.

Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin. Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar; sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan. (Mazmur 1:1-6, TB-LAI)

Antonio Gramsci membagi dua cara suatu kelompok sosial mengukuhkan supremasinya atas kelompok lainnya, pertama, melalui jalur dominasi, dan kedua, melalui jalur hegemoni. Dominasi adalah penguasaan melalui tindakan koersif (kekerasan), misalnya melalui kekuatan militer, hukum, dsb. Sedangkan hegemoni adalah penguasaan melalui moral dan intelektual. Hegemoni merupakan cara penguasaan secara halus, sampai-sampai orang atau kelompok yang dikuasai tidak merasa sedang dikuasai atau di-stir, dan bahkan memberikan persetujuannya (consent) terhadap kelompok yang hegemonik. Sebagaimana teori kekuasaan dari Michel Foucault, bahwa kekuasaan akan memproduksi pengetahuan, hegemoni salah satunya dijalankan melalui pengetahuan. Kelompok yang berkuasa akan memproduksi pengetahuan tertentu, yang kemudian diajarkan terus menerus sampai akhirnya masyarakat akan merasa bahwa yang diajarkan itu benar. Sebagai contoh, pada era orde baru diajarkan tentang P4, yang adalah merupakan pengajaran ideologi Pancasila menurut versi penguasa orde baru. Juga diajarkan tentang sejarah bangsa, yang juga tentu saja adalah sejarah versi orde baru. Karena merupakan sejarah versinya, maka dipilihlah sejarah dari sudut pandang yang menguntungkan penguasa saat itu. Tidak heran jika kemudian PKI disejarahkan sebagai orang-orang yang berkelakuan seperti binatang, tidak beradab, sebagai patogen bagi bangsa yang harus dilenyapkan keberadaannya. Kemudian ketika orde baru tumbang, narasi-narasi sejarah yang demikian mulai dipertanyakan, apa iya memang seperti itu. Tetapi orde baru sudah berhasil menghegemoni, terbukti sampai sekarang sejarah yang diajarkan oleh orde baru masih yang diyakini sepenuhnya benar.

Selain melalui pengetahuan, hegemoni juga melalui budaya, misalnya seni. Setelah menyaksikan film di bioskop tentang peperangan antara Amerika Serikat vs Jepang di PD II, saya tertarik dengan komentar-komentar orang-orang yang menyaksikan film tersebut, di mana kesannya adalah berpihak kepada Amerika dan menganggap Jepang sebagai musuh atau antagonis. Koq bisa begitu ya, padahal kita orang Asia yang mestinya lebih mendukung Jepang daripada AS. Nah itulah contoh hegemoni AS melalui film. Film itu dibuat oleh Holywood, yang tentu saja menceritakan AS sebagai hero bahkan superhero, yang kemudian bagi kita karena sudah terpikat dengan keindahan film tersebut maka kita tanpa sadar dan secara sukarela mengikuti narasi dari sang sutradara. Jadi, tanpa sadar kita telah dihegemoni oleh AS. Halus, senyap, tanpa disadari, tapi mampu mengontrol pikiran kita.

Mazmur 1:1-6 di atas adalah tergolong pada mazmur hikmat. Namun demikian, 1:1-6 sebenarnya adalah satu perikop dengan 2:1-12, yang merupakan mazmur penobatan (pemahkotaan) raja. Lalu mengapa mazmur yang mengajarkan tentang jalan orang benar dan jalan orang fasik menjadi satu dengan mazmur penobatan raja? Dengan menggunakan teori Gramsci tersebut mudah saja dibaca bahwa Mazmur 1:1-6 adalah upaya kerajaan dinasti Daud untuk menghegemoni rakyatnya dalam rangka rakyat tetap tunduk dan patuh secara sukarela kepada raja. Kalau dibaca secara ideologis, raja menghendaki rakyat jangan menjadi pencemooh (tukang kritik) kepada raja. Supaya tidak jadi tukang kritik, maka sibukkan diri dengan membaca Torat sehingga tidak ada waktu mengkritik raja. Sebagai ganjarannya, dijanjikan berkat kesuksesan yang luar biasa.

Tetapi biasanya kita membaca Mazmur 1 tersebut dengan membenarkan begitu saja apa yang disampaikan di situ dan menjadikannya norma dalam hidup kita. Bahwa orang yang diberkati dan sukses luar biasa dalam hidupnya adalah yang merenungkan kitab suci siang dan malam, maka kemudian menjadi silogisme “kunci sukses adalah baca kitab suci.” Tetapi bukankah itu benar? Iya, itu artinya kita telah terhegemoni, ketika kita tidak bisa berpikir kritis dan menerima begitu saja apa yang disampaikan kepada kita. Memang tidak selalu hegemoni itu buruk. Di tangan orang baik, hegemoni menjadi sarana menggiring orang lain kepada kebaikan. Tetapi sekali lagi, bukankah lebih baik lagi kalau kita tidak di-stir orang lain? Bukankah lebih baik semua ditentukan oleh kesadaran sendiri? Tentunya akan lebih baik kalau kita selalu bertanya secara kritis, “apa iya sih mesti begitu?”