Intensifikasi Penginjilan: Suatu Upaya Perluasan Ego

Tema eskatologis seringkali menjadi isu yang menarik untuk diperdebatkan. Bukan hanya itu, pandangan eskatologis seseorang juga sangat menentukan bagaimana bentuk misi yang dijalankan. Misi penginjilan yang dijalankan secara agresif dan intensif biasanya didasari oleh pemahaman bahwa masa ini sudah merupakan akhir zaman dan Tuhan Yesus akan segera datang. Kedatangan-Nya akan menyelamatkan orang-orang yang percaya kepada-Nya, dan sebaliknya menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak percaya. Waktu saya masih kecil, saya suka sekali membaca majalah rohani “Tulang Elisa”. Yang saya sukai tentu saja ada di situ komik berseri tentang akhir zaman. Sebagai anak-anak saya tentu suka sekali imajinasi yang digambarkan dalam komik tersebut akan peristiwa-peristiwa menjelang kedatangan Kristus kedua kalinya (orang dewasa pun saya kira juga suka). Seru sekali ceritanya. Hanya, saya sendiri juga tidak habis pikir dengan istilah “akhir zaman sudah dekat” yang terus menerus diulang-ulang dari dulu, namun sampai sekarang, zaman juga tidak berakhir-berakhir.

Isu tentang akhir zaman yang sudah dekat sebenarnya sudah ada sejak Perjanjian Baru. Sebagai contoh, dalam 1 Tesalonika 4:13 – 5:11 dengan jelas menunjukkan keyakinan Paulus bahwa mereka yang masih hidup di zaman itu (zaman Paulus hidup) akan menyaksikan kedatangan Yesus, dan kemudian diangkat bersama-sama mendahului mereka yang sudah mati. Namun ternyata keyakinan tersebut tidak terwujud. Dalam Markus 9:1, penulis Injil Markus meletakkan keyakinannya ke dalam mulut Yesus, bahwa beberapa dari mereka yang hidup di zaman Yesus tidak akan mati sebelum kerajaan itu datang dengan kuasanya (kiamat atau akhir zaman). Namun ternyata juga sampai semua orang itu mati, kerajaan itu belum datang. Ketidaksesuaian antara yang apa yang diyakini dengan kenyataan yang terjadi ini disebut dengan istilah disonansi kognitif. Mereka yakin kiamat segera datang di zaman mereka, namun kenyataannya tidak.

Apakah disonansi kognitif tersebut membuat mereka (jemaat awal) meninggalkan imannya? Jawabannya adalah tidak. Disonansi kognitif tersebut, pertama, diatasi dengan cara rasionalisasi. Dalam 2 Tesalonika, yang merupakan surat deutero-pauline (bukan ditulis oleh Paulus sendiri, namun oleh penulis yang mengatasnamakan Paulus), banyak berisi bantahan bahwa Yesus akan datang di zaman mereka. Sebagian jemaat bahkan dituding telah salah memahami tulisan Paulus dalam surat 1 Tesalonika di atas. Cara kedua adalah dengan mengintensifkan penginjilan. Jemaat justru didorong untuk semakin giat melakukan penginjilan ketika menjumpai keyakinan mereka bahwa Yesus akan datang pada zaman mereka tidak menjadi kenyataan. Lho kok bisa intensifikasi penginjilan menjadi cara untuk mengatasi disonansi kognitif? Saya akan coba menganalisisnya dengan menggunakan pemikiran Hermann Broch.

Hermann Broch memperkenalkan teori “keadaan temaram” dalam psikologi kesadaran manusia. Secara psikologis, manusia sebenarnya berada dalam keadaan yang remang-remang. Di situ tidak sepenuhnya gelap, namun hanya ada sedikit cahaya saja. Dalam keadaan tersebut tentu saja ada banyak yang tidak dapat dilihat secara jelas. Situasi tersebut pada akhirnya menimbulkan kecemasan. Oleh Broch disebut dengan istilah kecemasan metafisis, dan yang dimaksud dengan kecemasan metafisis adalah kematian. Kematian menjadi kecemasan metafisis oleh karena manusia tahu bahwa dirinya pasti akan mati, namun tidak tahu apa yang sesungguhnya akan terjadi setelah kematian. Broch menyebut ada dua cara untuk mengatasi kecemasan metafisis ini. Pertama, dengan meredupkan kesadaran. Cara ini contohnya seperti dilakukan oleh agama dengan mengatakan bahwa nanti setelah kematian, kita yang ada dalam keyakinan agama ini dijamin pasti masuk surga, suatu tempat yang jauh lebih baik daripada di dunia ini. Hal itu membuat manusia meredup kesadarannya akan realitas dunia ini, kecemasannya juga mulai berkurang dengan dibanjiri harapan akan kehidupan setelah kematian yang lebih baik daripada kehidupan saat ini. Dalam hal seperti ini, rasio biasanya disingkirkan atau dipadamkan, dan digantikan dengan dorongan-dorongan untuk meyakini surga.

Cara kedua untuk meredakan kecemasan metafisis adalah dengan memperluas ego. Misal dilakukan dengan cara memiliki banyak kekayaan, mengejar sebanyak-banyaknya pengetahuan. Hal itu dapat membuat diri seseorang meluas. Semakin memiliki banyak materi, semakin dirinya meluas, dan semakin kecemasannya akan kematian mereda. Perluasan ego bukan hanya melalui perluasan materi, namun juga bisa melalui perluasan sistem nilai. Sistem nilai yang dimaksud di sini berupa agama, keyakinan, norma, budaya, dsb., yang pada intinya merupakan sesuatu yang telah terbentuk secara stabil dan menjadi pegangan bagi seseorang. Perluasan ego dilakukan dengan mengekstensifkan sistem nilai. Ego akan meluas ketika sistem nilai itu dianut juga oleh lebih banyak orang. Dengan begitu, kecemasan akan kematian akan semakin berkurang ketika semakin banyak orang menganut sistem nilai yang sama.

Sekarang saya bisa memberikan jawaban mengapa intensifikasi penginjilan adalah merupakan cara untuk mengatasi disonansi kognitif. Ketidaksesuaian antara keyakinan kesegeraan kedatangan Yesus dengan kenyataan yang sebaliknya, sudah pasti menimbulkan kecemasan. Kecemasan tersebut kemudian diatasi dengan cara menggiatkan penginjilan agar semakin banyak orang menganut sistem nilai yang sama, yaitu iman Kristiani. Semakin banyak orang yang menganut iman yang sama, maka secara psikologis akan membuat orang tersebut merasa bahwa imannya sudah benar karena buktinya banyak yang mengikuti. Itu juga akan semakin menguatkan keyakinannya akan kebenaran ajaran eskatologis iman tersebut tentang kehidupan setelah kematian.