Membaca Pertumbuhan Jemaat melalui Teori Arena

Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambahkan jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan (Kis. 2:47, TB-LAI).

Teks di atas tentu adalah merupakan interpretasi Lukas terhadap fenomena pertambahan jemaat yang begitu pesat di Yerusalem. Sebuah kelompok keagamaan baru yang mengalami perkembangan yang begitu menakjubkan, yang dipimpin dan didirikan bukan oleh orang-orang yang selama ini hidup dalam tradisi keagaaman yang kuat, yang kemudian menjadi ancaman besar bagi Yudaisme yang sudah mapan. Bagaimana mereka dapat mengalami perkembangan yang begitu pesat?

Pierre Bourdieu, seorang critical sociologist, mengembangkan teori arena yang mana keberhasilan dalam arena tertentu ditentukan oleh habitus yang sesuai dan kapital yang kuat. Habitus adalah nilai-nilai dari luar yang kemudian diinternalisasi oleh seseorang, yang pada akhirnya mengendap dalam dirinya dan menjadi sebuah kebiasaan, gaya hidup. Sedangkan kapital adalah modal yang dimiliki, bisa berupa modal intelektual, modal budaya, modal simbol, dsb. Sebagai contoh keberhasilan Jokowi di arena perpolitikan hingga dua periode menjabat sebagai presiden tentu bukan karena beliau orang yang lebih hebat dibandingkan dengan orang-orang Indonesia lainnya. Keberhasilannya di arena perpolitikan adalah karena memiliki habitus dan kapital yang sesuai. Gaya beliau yang sederhana, merakyat bisa disebut sebagai habitus dari pemimpinnya wong cilik. Hal itulah yang bisa jadi menarik bagi sebagian besar rakyat Indonesia, yang mungkin sudah muak dengan kepemimpinan golongan politik “ningrat.” Sehingga kemudian muncul jargon “Jokowi adalah kita,” yang merupakan bentuk pengidentifikasian rakyat terhadap Jokowi, dan sebaliknya. Bukan hanya habitus, beliau juga didukung dengan kapital yang kuat dan sesuai. Beliau didukung oleh partai politik besar, yang juga diidentikkan dengan partainya wong cilik. Belum lagi catatan-catatan keberhasilan beliau selama menjadi walikota dan gubernur semakin membuatnya menjadi idola baru dalam arena perpolitikan. Hasilnya, mayoritas rakyat menjatuhkan pilihan kepadanya.

Dengan menggunakan kacamata Bourdieu tersebut, dapat dibaca bahwa pertumbuhan jemaat di Yerusalem juga karena habitus dan kapital yang sesuai, sehingga mengakibatkan semua orang menyukai mereka. Mungkin saja pada saat itu sampai muncul jargon “Petrus adalah kita”, “Yohanes adalah kita” dsb, oleh karena masyarakat, terutama dari golongan yang selama ini didominasi secara simbolik oleh penguasa-penguasa Bait Suci, merasa bahwa mereka menemukan apa yang selama ini mereka cari dalam kelompok baru tersebut. Para rasul yang berasal dari golongan awam secara ritual religious, yang bahkan beberapa dari antara mereka diklasifikasikan oleh rezim agama sebagai golongan orang berdosa, adalah merupakan habitus yang membuat mereka tidak berjarak dengan masyarakat yang selama itu merasakan kesewenang-wenangan penguasa Bait Suci. Khotbah yang kharismatis disertai dengan demonstrasi kekuatan supranatural adalah kapital yang besar, yang mampu dengan efektif menarik hati golongan masyarakat yang selama ini tertindas dan terpinggirkan.

Bourdieu dalam teori kelasnya juga menyebut munculnya distingsi/pembeda dan resistensi/perlawanan di antara dua kutub kekuatan. Kekuatan golongan atas menggunakan distingsi, sedangkan golongan bawah menggunakan resistensi dalam rangka memperkuat eksistensinya. Misalnya, golongan kaya akan membangun distingsi melalui kepemilikan motor yang harganya mahal. Sebaliknya, golongan yang tidak mampu akan melakukan resistensi, misal karena tidak bisa membeli motor mahal, maka mereka mengendarai motor buntut dengan aksesoris kaleng-kaleng bekas atau menyeret-nyeret sampah. Kelihatannya nyentrik, tetapi sebenarnya adalah bentuk perlawanan terhadap dominasi simbolik kekayaan, paling tidak bisa memalingkan perhatian orang-orang kepada mereka.

Cara hidup jemaat mula-mula, yang saling berbagi, makan bersama-sama, dapat dibaca sebagai resistensi terhadap dominasi simbolik kekuasaan. Para penguasa agama tersebut beberapa kali mencela Yesus yang makan bersama-sama orang berdosa, yang menurut mereka tidaklah pantas dilakukan oleh orang yang disebut sebagai guru bahkan nabi oleh banyak orang. Itu adalah bentuk distingsi yang dilakukan oleh para penguasa tersebut, yang menempatkan mereka di kelas atas dengan penanda-penanda bahwa mereka bagian dari kelas tersebut. Mereka juga pada suatu kesempatan membuat distingsi yang memasukkan Petrus dan Yohanes dalam golongan orang yang tidak terpelajar (Kis. 4:13). Oleh karena itu, jemaat mula-mula melakukan resistensi dengan cara hidup yang bertolak belakang dengan rezim agama tersebut. Hidup saling berbagi dan makan bersama adalah simbol dirobohkannya batas-batas sosial yang selama ini didirikan oleh rezim penguasa tersebut. Gaya inilah yang begitu memikat hati banyak orang, di mana alih-alih mengikuti distingsi penguasa untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang agamis, mereka malah memilih perlawanan secara simbolik.