Sering terdengar orang-orang dari kelompok karismatik mengatakan, “aku mendengar suara Tuhan”, “Tuhan berbicara kepadaku”, “aku mendengar suara Roh Kudus”, dsb. Sementara itu orang-orang yang di luar kelompok ini akan mencemoohnya dan tidak jarang menyebut mereka sedang berhalusinasi. Saya tidak sepakat dengan istilah “halusinasi” tersebut, meskipun agak sepakat dengan maksudnya. Saya lebih condong menggunakan istilah “imajinasi” ketimbang “halusinasi”. Halusinasi berkonotasi negatif, sementara imajinasi lebih positif. Imajinasi adalah cara seseorang untuk menggambarkan pengalaman yang dialaminya. Imajinasi sangat penting bagi orang yang bergelut dalam bidang seni dan sastra. Mazmur 23 adalah salah satu contoh imajinasi itu. Di situ pemazmur menggambarkan pengalaman dirinya seperti domba yang dipelihara dengan baik oleh gembalanya, yang merupakan penggambaran Tuhan. Jadi, pengalamannya yang nyata adalah pemeliharaan Tuhan dalam hidupnya, sementara itu imajinasinya adalah penggambaran dirinya sebagai domba dan Tuhan sebagai gembala. Detail-detail dalam mazmur tersebut adalah bagian dari imajinasi untuk menggambarkan besarnya pemeliharaan Tuhan kepada pemazmur.
Kembali pada masalah klaim mendengar suara Tuhan. Bagi saya itu bukanlah halusinasi, tetapi imajinasi. Adalah merupakan pandangan yang terlalu merendahkan, dan juga terkesan membatasi Tuhan, kalau menganggap bahwa ia dituduh tidak benar-benar mendengarkan suara Tuhan. Menurut saya, betul bisa jadi memang ia mendengarkan “bisikan” ilahi. Tetapi tentu saja bukan dalam bentuk seperti orang yang sedang berdialog. Kalau memang seperti orang yang berdialog, maka tanyakan saja suara Tuhan itu seperti apa, seperti suara pria atau wanita, suaranya berat ataukah melengking, suaranya keras ataukah pelan? Sudah pasti tidak akan bisa mendeskripsikannya. Maka sebenarnya yang terjadi adalah, Tuhan menginspirasi atau mewahyukan suatu pesan kepada orang tersebut, dan kemudian orang itu mengimajinasikan pesan itu ke dalam detail-detail untuk disampaikan kepada orang lain. Jadi mestinya kita tidak perlu terlalu mempermasalahkan detail-detailnya, karena itu adalah bagian dari imajinasi. Yang harus ditangkap adalah apa pesan utamanya. Ketika seseorang mengatakan mendengar suara Tuhan bahwa akan terjadi sesuatu, seringkali fokus kita malah pada apakah sesuatu itu terjadi atau tidak. Padahal itu adalah imajinasinya. Dan kemudian buru-buru kita mencap orang yang bernubuat tersebut bernubuat palsu karena yang diramalkan tidak terjadi. Kita malah mengabaikan apa pesannya, yang sebenarnya itulah yang diinspirasikan Tuhan.
Untuk semakin memperjelas, saya akan mengutip salah satu nubuatan dalam Yeremia 25:12, “Kemudian sesudah genap ketujuh puluh tahun itu, demikianlah firman TUHAN, maka Aku akan melakukan pembalasan kepada raja Babel dan kepada bangsa itu oleh karena kesalahan mereka, juga kepada negeri orang-orang Kasdim, dengan membuatnya menjadi tempat-tempat yang tandus untuk selama-lamanya.” Di situ Tuhan berfirman kepada nabi Yeremia bahwa Tuhan akan menghancurkan Babilonia sampai menjadi tempat yang tandus sebagai pembalasan karena Babel telah menaklukkan Yerusalem. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Koresh menaklukkan Babilonia secara damai, tidak ada pertumpahan darah. Kalau begitu, nubuatan yang disampaikan tersebut ada unsur yang betul, tapi ada juga unsur yang meleset. Unsur yang betul terjadi adalah bahwa Babel ditaklukkan oleh Koresh dan untuk itu menjadi sarana pembebasan bagi umat Yahudi yang dikalahkan oleh Babel sebelumnya. Sementara itu, unsur prediksi yang meleset adalah ternyata Babel tidak menjadi tempat tandus, yang adalah gambaran orang-orang Babel yang dibinasakan, karena penaklukan Koresh berlangsung secara damai, dan kehidupan Babel tetap berjalan normal. Sebagaimana yang dikatakan oleh Robert Alter maupun ahli-ahli biblika lainnya, jangan dibayangkan bahwa meskipun disebutkan “Tuhan berfirman” atau “demikian firman Tuhan”, terjadi dialog nyata antara nabi dengan Tuhan. Yang terjadi sebenarnya adalah semacam dialog imajiner. Sang nabi mendapatkan inspirasi dari Tuhan atau Roh Tuhan ketika melihat atau mengalami pengalaman yang riil dalam hidupnya. Ia kemudian mengembangkan pesan yang diinspirasikan tersebut ke dalam suatu formula perkataan Tuhan, seolah-olah terjadi dialog antara dirinya dengan Tuhan. Inilah yang saya sebut sebagai mengimajinasikan inspirasi yang diperoleh. Dengan demikian, tidaklah perlu menjadi heran jika nubuatan-nubuatan itu kadang tidak menjadi kenyataan. Namun bukan berarti kita lantas menyebut mereka nabi palsu dan mengganggap mereka tidak mendapatkan inspirasi dari Tuhan hanya karena prediksinya tidak sepenuhnya terwujud.