Banalitas Iman

Kejadian 22:1-18 menceritakan bagaimana Abraham menerima perintah Tuhan untuk mengorbankan Ishak sebagai korban bakaran. Abraham menuruti perintah Tuhan tersebut tanpa disebutkan adanya keberatan atau adanya pertanyaan Abraham terhadap perintah tersebut. Penulis kitab Ibrani menafsirkan narasi tersebut sebagai bukti iman Abraham (Ibr. 11:17-19). Demikian juga Gereja sampai saat ini juga menafsirkan sama seperti penafsiran penulis kitab Ibrani. Namun, saya mengajak kita untuk mencermati narasi tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Abraham mengikuti begitu saja perintah, tanpa sedikitpun ada pertanyaan, untuk mengorbankan anaknya. Jelas bahwa anaknya adalah manusia, yang memiliki hak hidup. Mengapa Abraham menuruti begitu saja perintah yang diyakininya sebagai suara Tuhan, untuk melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan?

Untuk dapat memahami pikiran Abraham tersebut, saya akan menggunakan pemikiran Hannah Arendt yang terkenal, yaitu tentang banalitas kejahatan. Yang ia maksudkan sebagai kejahatan yang banal adalah perilaku jahat yang dilakukan namun si pelaku kejahatan tersebut tidak merasa sedang melakukan kejahatan. Ia merasa bahwa yang dilakukannya adalah hal yang wajar. Pemikiran ini tercetus ketika ia mengamati persidangan seorang jenderal Nazi yang bernama Eichmann. Eichmann diadili oleh karena didakwa telah melakukan kejahatan kemanusiaan karena ia mengirim orang-orang Yahudi ke camp konsentrasi yang berujung pada pembantaian jutaan orang Yahudi. Yang ironis bagi Arendt adalah Eichmann sama sekali tidak merasa bersalah. Ia menyatakan bahwa apa yang dilakukannya tersebut benar karena sebagai prajurit ia hanya menuruti perintah atasan, yaitu pemerintah Nazi. Arendt mengambil kesimpulan bahwa kejahatan yang banal tersebut dapat terjadi ketika orang kehilangan pikiran kritisnya. Ia hanya mengikuti begitu saja perintah atau sistem tertentu, tanpa menggunakan kemampuan reflektifnya untuk menimbang-nimbang apakah hal yang dilakukannya itu benar atau salah. Oleh Herbert Marcuse manusia seperti ini disebut sebagai manusia satu dimensi (one dimension man), yaitu manusia yang hanya punya kemampuan mengiyakan suatu realitas, dan kehilangan kemampuannya untuk menidak.

Iman sering juga dipahami sebagai mengiyakan apa yang diklaim sebagai firman Tuhan, dan dilarang untuk mempertanyakan firman itu, apa lagi menentangnya. Orang yang beriman adalah orang yang mengikuti begitu saja sesuatu yang diklaim sebagai firman Tuhan. Bahkan seringkali juga diingatkan untuk jangan menggunakan akal ketika mendengarkan firman Tuhan. Bagi saya, iman yang sedemikian itu, sebagaimana juga yang ditunjukkan oleh Abraham, adalah iman yang banal. Iman yang banal adalah iman yang tidak memberi ruang terhadap dimensi akal untuk bekerja. Apa bahaya dari memiliki iman yang banal ini? Orang yang beriman secara banal akan mudah dimanipulasi oleh klaim-klaim firman Tuhan. Orang-orang yang menurut kita begitu bodoh karena mau digerakkan untuk melakukan sesuatu atas nama agama, sebenarnya adalah orang-orang yang baik dan beriman. Namun sayangnya tidak menggunakan akalnya dalam beriman. Pada akhirnya hal itu akan mendatangkan kerusakan baik bagi diri sendiri maupun kehidupan bersama.