Kreativitas: Kebebasan tanpa Batas

Saya kira akan banyak yang setuju jika saya katakan bahwa film/sinema produksi Hollywood jauh lebih menarik ketimbang sinema produksi Indonesia. Menurut saya, permasalahannya bukan terletak pada biaya produksi, yang tentu saja memang jauh lebih besar produksi Hollywood ketimbang produksi Indonesia. Itu bukan menjadi masalah pokok, karena jika memang film tersebut menarik, tentunya akan dapat juga menjadi daya tarik bagi investor untuk menginvestasikan uangnya membiaya film tersebut. Akar permasalahannya, menurut saya, adalah terbatasnya kebebasan untuk berkreasi di Indonesia. Ini tidak hanya tentang film saja, tetapi juga bisa mencakup seni secara umum, teknologi, ilmu pengetahuan, dsb. Sineas-sineas Hollywood tidak dibatasi kreativitasnya ketika membuat film. Mereka bisa memasukkan unsur-unsur apapun dalam film, seperti unsur kekerasan, erotis, dsb., sehingga film tersebut mampu menggambarkan realitas kehidupan dengan sangat apik. Bandingkan dengan film-film produksi Indonesia. Para sineas Indonesia sebelum membuat film harus mempertimbangkan dulu agar film tersebut tidak melanggar norma agama atau norma masyarakat. Belum lagi jika nanti sudah produksi, akan berhadapan dengan lembaga sensor yang siap memotong habis-habisan adegan-adegan yang dirasa melanggar norma-norma tersebut. Pernah ada juga larangan menampilkan artis pria dengan peran “melambai” di televisi karena ditakutkan akan mengajarkan perilaku LGBT pada masyarakat. Sudah sangat akrab di telinga kita adanya seruan “tontonan harus juga menjadi tuntunan”. Jadi para seniman di Indonesia dituntut bukan hanya menghasilkan sesuatu yang menghibur, namun harus sekaligus mendidik. Jadi di sini, para seniman dianggap bertanggung jawab atas baik buruknya moralitas penonton atau masyarakat. Konyol bukan? Di Indonesia memang sepertinya profesi dan keahlian apapun dituntut harus juga memfungsikan dirinya sebagai pendeta atau ustadz, yang harus memasukkan nilai-nilai agama dalam karyanya, atau paling tidak jangan sampai bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Tentu saja saya dalam posisi tidak setuju dengan pembatasan dalam kreativitas tersebut. Bagi saya, kreativitas harus tanpa batasan. Tidak akan ada kreativitas jika dalam membuat suatu karya mempertimbangkan dulu itu boleh atau tidak, dosa atau tidak. Akhirnya malah tidak jadi bikin apa-apa. Tanpa kreativitas tidak akan ada kemajuan. Maka, lihat saja Indonesia yang susah majunya. Rasul Paulus dalam 1 Korintus 10:23 menuliskan, “’Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. ‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.” Juga dilanjutkan di ayat 31, “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Di situ Paulus menasihati jemaat Korintus agar membatalkan makan daging yang telah dipersembahkan kepada berhala, meskipun makan daging yang dipersembahkan berhala tidaklah dosa. Pertimbangan larangan tersebut adalah kalau-kalau ada saudara seiman yang akan dapat terganggu imannya karena praktik makan daging yang telah dipersembahkan kepada berhala tersebut. Bagi saya, nasihat Paulus tersebut akan dapat mematikan kreativitas. Oleh karena itu, dalam hal berkreasi saya lebih suka mengabaikan ayat tersebut. Kalau kita berkreasi, ya berkreasi saja. Tidak usah mempertimbangkan bagaimana nanti iman atau moralitas orang lain. Tuangkan kreativitas seluas-luasnya.

Saya merujuk pada pemikiran Gilles Deleuze, seorang filsuf Prancis. Pada umumnya digambarkan masyarakat sebagai organisme, yang mana anggota masyarakat satu dengan yang lainnya saling bergantung. Seperti itu jugalah yang dikatakan Rasul Paulus dalam 1 Korintus 12:12-31 tentang satu tubuh dengan banyak organ tubuh, yang mana organ satu dengan yang lainnya saling bergantung. Deleuze berbeda dalam hal ini. Ia sebaliknya, menggambarkan masyarakat sebagai tubuh tanpa organ. Maksudnya adalah bukannya tanpa organ tubuh, tetapi tanpa organisasi. Jadi anggota masyarakat satu dengan yang lainnya bisa saling tidak terhubung apalagi bergantung. Sebagai contoh, ketika ada perang Rusia-Ukraina, masyarakat di Indonesia atau belahan dunia lainnya tetap tenang-tenang saja, berkegiatan secara normal. Itu menjadi bukti bahwa pada kenyataannya anggota masyarakat bisa tidak saling terhubung dan mempengaruhi. Di situ ada unsur ketidakteraturan. Karena kalau teratur, berarti kita juga ikut berperang juga ketika tempat lain perang. Ketidakteraturan tersebut oleh Deleuze digambarkan sebagai rhizoma, akar yang menjalar ke mana-mana. Itulah kreativitas. Kreativitas dapat mengarah kemana saja. Demikian juga seni memang bukanlah chaos, namun seni mengizinkan chaos ada di dalamnya. Maka tidak heran dalam seni yang kreatif kita kadang menemukan unsur-unsur yang mungkin tabu bagi masyarakat/agama namun justru ada di dalamnya. Justru di situlah seni menjadi menarik dan disukai oleh hampir semua orang. Keliaran, ketidakteraturan, dan kebebasan dalam seni itulah yang justru dapat mengajarkan nilai-nilai moral tanpa menggurui apalagi menjadi ideologis.