Jika kita memperhatikan paruhan kedua dari kitab Yesaya, yaitu pasal 40-55, kita akan kerap menjumpai nada penghiburan yang ditujukan kepada situasi perhambaan atau ketertindasan yang dialami oleh umat Yahudi. Semisal dalam Yesaya 40:1-2, “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu, tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya, bahwa perhambaannya sudah berakhir, bahwa kesalahannya telah diampuni, sebab ia telah menerima hukuman dari tangan TUHAN dua kali lipat karena segala dosanya.” Yesaya 40-55 memang merefleksikan situasi kehidupan umat Yahudi yang berada di Babilonia. Dari apa yang disampaikan, kita akan dengan mudah mendapati kesan bahwa umat Yahudi di sana mengalami situasi penindasan atau perlakuan yang tidak adil. Namun apabila kita mencoba melihat dokumen-dokumen sejarah di luar Alkitab, justru kita akan mendapati situasi yang berbeda. Hampir tidak ada dokumen yang mencatat adanya perlakuan yang tidak adil atau diskriminatif terhadap umat Yahudi di Babilonia. Salah satunya dalam dokumen Murashu, yang ditulis dengan huruf paku, dengan jelas menyebutkan bahwa tidak ada diskriminasi apapun, baik itu yang berdasarkan etnis maupun agama, yang diterima oleh umat Yahudi dalam kontrak kerjasama. Dokumen-dokumen lain juga menyebutkan bagaimana orang-orang Yahudi hidup sejahtera, mengusahakan tanah pertanian mereka sendiri, mendirikan rumah bagi mereka, maju dalam hal perdagangan, dan bebas untuk melakukan apa saja.
Lalu mengapa ada erangan, aduhan, yang seolah-olah merefleksikan adanya ketidakadilan yang dialami, padahal ternyata situasi secara riil justru mereka lebih dari baik-baik saja? Hal ini menunjukkan bahwa keadilan itu bukanlah merupakan sesuatu yang bisa dikonsepkan secara mutlak dan universal. Keadilan itu menyangkut rasa, sehingga bisa jadi situasi yang adil bisa dirasa tidak adil bagi pihak tertentu. Pada akhir kekuasaan Babilonia, memang Raja Nabonidus, sebagai penganut fanatik penyembahan kepada dewa Sin, membuat kebijakan penyembahan tunggal kepada dewa Sin. Kebijakan tersebut rupanya dirasa mengancam penyembahan-penyembahan lainnya, seperti penyebahan kepada dewa Marduk, yang sebelumnya adalah dewa nasional Babilonia, dan termasuk juga mengancam penyembahan kepada YHWH, sesembahan umat Yahudi. Nampaknya kebijakan inilah yang dirasa sebagai ketidakadilan tersebut, meskipun segi lain dalam kehidupan sehari-hari sama sekali tidak mengalami diskriminasi atau ketidakadilan.
Rasa ketidakadilan yang subyektif tersebut juga bisa dicontohkan dalam saat ini. Paling jelas terlihat bagaimana ketika suatu gereja dengan lantang berteriak telah mendapatkan perlakuan yang tidak adil, diskriminatif, oleh karena gereja tersebut ditutup atau tidak diberi IMB, tidak diijinkan untuk dipakai sebagai tempat ibadah, dsb. Gereja tersebut kemudian membuat narasi-narasi bahwa hak asasinya telah dilanggar, bahwa pekerjaan Tuhan dihambat. Pada intinya berupaya menarasikan bahwa kehidupan manusia sedang terancam oleh karena tindakan yang dianggap tidak adil tersebut. Padahal jika menelisik lebih jauh, itu hanya larangan untuk menggunakan suatu tempat sebagai tempat ibadah. Tidak ada yang melarang untuk tetap menjadi orang Kristen, tidak ada yang melarang juga untuk beribadah (selain di tempat yang dilarang tersebut), tidak ada diskriminasi di bidang kehidupan lainnya juga. Tetap bebas bekerja dan memilih pekerjaan, bebas sekolah di mana saja, bebas nge-mall, bebas ber-hahahihi di medsos, dsb. Di lain pihak, kita mungkin mengabaikan bahwa mereka yang menutup gereja itu mungkin merasakan ada ketidakadilan yang mereka alami dalam aspek kehidupan yang berbeda. Mungkin di antara mereka merasa mendapat perlakuan yang tidak adil dalam pekerjaan yang dilakukan oleh boss-nya yang ternyata adalah orang Kristen. Nah, itu semua menunjukkan bahwa keadilan itu sifatnya subyektif, berkaitan dengan rasa. Kita bisa merasa pada satu sisi mengalami ketidakadilan, sementara orang yang lain bisa juga merasakan ketidakadilan di sisi lainnya. Saya kira yang penting adalah kita perlu menyadari bahwa kehidupan ini tidak bisa sepenuhnya berjalan sesuai keingingan kita sehingga kita tidak perlu bereaksi terlalu berlebihan jika mengalami satu situasi yang tidak sesuai harapan kita.