Pangling

Pangling adalah sebuah istilah dalam bahasa Jawa yang kurang lebih artinya tidak lagi bisa mengenali seseorang yang sebelumnya dikenal yang disebabkan adanya perubahan pada diri orang tersebut. Pengalaman tersebut dialami juga oleh murid-murid Yesus. Injil mencatat bahwa hampir semua murid Beliau tidak mengenali Beliau ketika berjumpa pasca kebangkitan. Maria Magdalena mengira orang yang berbicara dengannya adalah penunggu taman, dan baru menyadari bahwa orang itu adalah Yesus ketika Beliau memanggilnya dengan panggilan yang khas yang selama ini mungkin ia kenali (bd. Yoh. 20:14-16). Simon Petrus, dkk juga seperti tidak mengenali Yesus pada saat mereka menangkap ikan di pantai danau Tiberias (Yoh. 21:1-14). Dan yang paling mencolok adalah dua orang murid Tuhan Yesus yang dalam perjalanan menuju ke Emaus, yang dari Yerusalem jaraknya kurang lebih 25 km, tetapi selama perjalanan dengan berjalan kaki sama sekali tidak mengenali bahwa yang sedang berbicara dengan mereka adalah Yesus dan baru mengenalinya ketika Beliau memecah-mecahkan roti (Luk. 24:13-32). Injil Markus memberikan keterangan bahwa Yesus menampakkan diri dalam rupa yang lain (Mrk. 16:12). Beberapa bukti tersebut menguatkan dugaan bahwa fisik atau rupa Tuhan Yesus berbeda sebelum dan sesudah kebangkitan Beliau, dan itulah yang kemudian membuat murid-murid Beliau pangling dengan Beliau dan baru bisa mengenali ketika Beliau menunjukkan tanda-tanda bekas luka, gaya bicara yang khas, atau kebiasaan khas selama ini yang dikenal oleh para murid.

Tetapi mengapa Beliau harus menampakkan diri dengan rupa yang lain? Bukankah jika menampakkan diri dengan fisik yang sama seperti sebelum kebangkitan akan dapat mematahkan dusta yang dibuat oleh para tua-tua dan para imam tentang kebangkitan Beliau? Menurut saya tidak akan semudah yang dibayangkan itu. Yang akan terjadi justru adalah kegaduhan. Bisa dibayangkan ketika Yesus menjumpai murid-murid, yang tidak semuanya terjadi di tempat tertutup, kemudian orang banyak mengenalinya sebagai Yesus yang sudah mati disalib pasti akan menimbulkan kegaduhan. Andai saja pada saat itu sudah ada medsos, maka akan terjadi twitwar atau juga perang opini di facebook. Mereka yang selama ini tidak percaya kepada Yesus tidak akan begitu saja menjadi percaya karena melihat sosok Yesus yang bangkit dari kematian. Kita tentu ingat pertarungan sengit semasa pilpres antara pendukung fanatik Jokowi dan Prabowo. Pendukung Prabowo tidak mengubah dukungannya hanya karena diberikan bukti-bukti kehebatan Jokowi dan kelemahan Prabowo, dan demikian juga sebaliknya. Justru fakta-fakta yang diberikan dianggap sebagai hoax dan dilawan dengan teori konspirasi, sehingga yang terjadi adalah semakin tajamnya konflik politik. Begitu juga saya kira yang akan terjadi kalau Yesus tetap dengan rupa yang sama seperti sebelum Ia bangkit. Perubahan rupa tersebut sebagai jalan “senyap” Beliau dalam rangka melayani dan menguatkan murid-murid.

Perubahan rupa Yesus tersebut kemudian dapat saya maknai dalam dua hal. Pertama, bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan. Yesus saja berubah, apalagi gereja juga seharusnya tidak anti terhadap perubahan. Fakta bahwa pada masa pandemi ini gereja-gereja mengubah bentuk ibadah dan pelayanannya adalah merupakan hal yang menggembirakan. Dengan demikian, gereja terus dapat menyaksikan kasih dan kuasa Allah, namun dalam bentuk pelayanan yang berbeda dengan sebelum terjadi pandemi. Kedua, hal menghindari kegaduhan juga tidak bisa dikesampingkan. Adanya kelompok Kristen yang membagikan nasi anjing adalah sebuah contoh kegaduhan yang justru diciptakan, kontras dengan teladan Yesus yang menghindari kegaduhan. Pelayanan yang sebenarnya baik, apalagi di situasi sulit saat ini, tetapi malah justru menimbulkan keresahan yang tidak perlu.