Bahasa Cinta yang Operatif

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan (Ef. 5:22, TB-LAI)

Ayat tersebut ketika diperhadapkan dalam kondisi “normal” tentunya baik-baik saja. Tetapi bagaimana apabila misalnya, suami dan isteri sering bertengkar karena suami menginginkan isterinya tidak bekerja, di rumah saja untuk mengurus rumah tangga, karena selain karena penghasilan suami lebih dari cukup juga karena suami mengasihi isterinya dan tidak ingin isterinya susah-susah bekerja. Tetapi sebaliknya, sang isteri ingin bekerja, bukan karena masalah uang, tetapi karena ingin mengaktualisasikan dirinya dan yang selama ini mungkin ia telah perjuangkan dalam pendidikan. Menurut saya, tentu saja ayat tersebut tidak bisa serta merta diterapkan dalam kasus tersebut, dan kemudian memaksa isteri untuk mengikuti kehendak suaminya tersebut. Lalu bagaimanakah secara bijak menerapkan ayat tersebut?

Seorang ahli bahasa yang bernama Ferdinand de Saussure merasa frustasi dengan studi dalam sejarah bahasa. Studi sejarah bahasa berusaha menghidupkan kembali bahasa-bahasa kuno dengan menggunakan acuan bahasa yang masih digunakan sekarang. Misal menghidupkan kembali bahasa Sansekerta melalui bahasa Jawa. Menurutnya, hal itu percuma. Bagaimanapun, bahasa kuno tersebut sudah tidak operatif lagi dengan realitas saat ini. Akan banyak makna kata yang sudah berubah ketika digunakan saat ini. Contoh mudahnya saja saat ini ada istilah “mager” yang kalau itu dipahami dalam bahasa Jawa diartikan sedang membuat pagar. Tetapi yang makna yang operatif sekarang di kalawangan kawula muda adalah “malas gerak.” Perubahannya sudah sangat jauh. Dulu diam dimaknai sebagai setuju, tetapi sekarang diam diartikan sebagai perlawanan. Ketundukan dahulu dimaknai sebagai tanda kesalehan, sekarang dimaknai sebagai tanda ketertindasan.

Jadi maksud saya adalah marilah kita baca teks tersebut dalam bahasa yang operatif saat ini, bukan bahasa yang operatif pada zamannya Paulus sebagai penulisnya. Kalau kita mau pahami secara keseluruhan dalam satu perikop ini adalah dalam rangka penggambaran kasih Kristus kepada jemaat dan sebaliknya. Jadi, cinta adalah kata kuncinya. Ekspresi cinta suami yang mungkin dikenal di zamannya Paulus adalah dengan memelihara isteri sesuai dengan pemahaman saat itu, yaitu secara sepenuhnya istri di rumah saja, dan suami yang bekerja. Maka kemudian diperlukan ketundukan isteri, selain juga karena pada saat itu memang isteri berada pada posisi yang tidak setara dengan suami dalam kultur masyarakat pada saat itu. Ekspresi cinta tersebut saya kira tidak masalah kalau kita bawa kedalam bahasa yang lebih operatif dengan era sekarang. Bahasa ketundukan dan pemeliharaan, misalnya dapat kita bawa kepada bahasa emansipasi, kebebasan, dan kesetaraan. Bahasa-bahasa operatif tersebut saya kira belum dikenal pada kultur masyarakat di zaman Paulus, sehingga wajar kalau itu tidak disinggungnya.