Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa dan Harun: “Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka.” (Bilangan 20:12, TB-LAI)
Dalam narasi masuknya bangsa Israel ke tanah Kanaan, Musa, yang sudah memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir, tidak diperkenankan Tuhan untuk masuk ke tanah perjanjian tersebut. Musa dan Harun dianggap bersalah dalam peristiwa mata air di Meriba (Bil. 20:2-13). Mereka dianggap tidak menghormati kekudusan Tuhan di depan mata orang Israel. Beberapa pengkhotbah biasanya menjelaskan bahwa kesalahan Musa adalah karena Musa memukul bukit batu dengan tongkatnya, sedangkan Tuhan memerintahkan Musa hanya untuk berkata kepada bukit batu tersebut untuk mengeluarkan air. Namun demikian, versi lain dari narasi ini, dalam Keluaran 17:1-7, Tuhan justru memerintahkan Musa untuk memukul bukit batu itu dengan tongkatnya sehingga keluar air. Nampak tidak ada kejelasan sebenarnya apa dosa Musa sehingga ia tidak boleh masuk tanah Kanaan. Lebih tidak jelas lagi Harun, karena ia hanya menyertai Musa dan tidak diceritakan berbuat sesuatu pun, namun menerima hukuman sama seperti Musa.
Ada dua dugaan saya terhadap hal tersebut. Pertama, bisa jadi sang narrator berusaha “melenyapkan” begitu saja Musa dan Harun dalam rangka memberikan tempat bagi munculnya tokoh baru, yaitu Yosua. Saya kira cara tersebut biasa dilakukan di dunia narasi. Sebagai contoh dalam Sinetron Si Doel Anak Sekolahan, yang popular di tahun 90an, juga menggunakan strategi yang hampir sama ketika Benyamin S. sebagai pemeran ayah Doel meninggal. Maka dibuatlah cerita ayah Doel meninggal karena kecelakaan. Demikian juga, ketika Chadwick Boseman, pemeran Black Panther, meninggal karena kanker usus, maka raja Wakanda tersebut tiba-tiba diceritakan meninggal karena sakit. Dalam narasi Musa tersebut, tuduhannya jelas meskipun kesalahannya tidak jelas dalam rangka mengakhiri ketokohan Musa dan Harun untuk memberi tempat munculnya tokoh yang baru dalam cerita, yaitu Yosua.
Dugaan kedua, yang mana saya cenderung pada dugaan ini, bahwa ketidakjelasan dosa yang dilakukan Musa dan Harun adalah dalam rangka menekankan pada sisi enigmatik Allah, yaitu Allah yang penuh teka-teki, penuh misteri. Masih dalam kitab Bilangan, di pasal 22 kita menjumpai kisah Bileam yang sangat membingungkan (Bil. 22:2-35). Pada awalnya Tuhan tidak mengijinkan Bileam pergi mengikuti permintaan raja Balak, tetapi kemudian mengijinkan. Setelah diijinkan, Bileam kemudian berangkat, tetapi kemudian justru diceritakan Allah murka karena Bileam pergi sehingga mengirim malaikat untuk mencegatnya (Bil. 22:22). Siapa yang tidak bingung membaca cerita ini (kecuali yang pemahamannya sudah diarah-arahkan). Tuhan mengijinkan Bileam pergi tapi kemudian murka karena Bileam pergi. Lah kalau begitu apa sih maksudnya Tuhan? Setelah dicegat oleh malaikat, Bileam berniat untuk kembali, eh malah malaikat menyuruh tetap pergi. Lha trus ini tadi maksudnya apa mencegat itu? Belum lagi cerita kegabutan yang dilakukan Tuhan ketika menghasut Daud untuk menghitung penduduk Israel oleh karena Tuhan murka terhadap orang Israel (karena apa?). Setelah Daud mengikuti perintah Tuhan tersebut, eh Daud malah dihukum (2 Sam. 24:1-17). Di sinilah yang saya tangkap sisi misterius Tuhan. Ia penuh teka-teki. Ia tidak begitu saja bisa ditebak mau-Nya. Belum tentu jika sudah melakukan apa yang diperintahkan Tuhan seperti Musa dan Bileam, trus sudah pasti semuanya akan baik-baik saja. Ternyata malah dihukum.
Dari situ kita bisa berefleksi dengan tidak membuat kepastian begitu saja tentang Tuhan. Kalau melakukan perintah Tuhan sudah pasti diberkati, sukses, bahkan masuk surga. Ternyata belum tentu juga. Semuanya terserah maunya Tuhan, yang tidak bisa ditebak itu. Maka tidak perlulah kita terlalu ngotot untuk merumuskan sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan. Lalu bagaimana kita mesti menyikapi? Saya kira dalam hal ini kita patut mempertimbangkan etika Deontologi Immanuel Kant. Yaitu, yang menjadi dasar moral bagi setiap tindakan kita adalah kewajiban. Jika memang perbuatan itu baik, entah itu karena diperintahkan dalam Kitab Suci maupun dari dorongan hati kita atau oleh apapun saja, maka lakukanlah tanpa perlu mempertimbangkan tujuan ataupun hasilnya. Kalau kita tahu bersikap jujur itu lebih baik daripada berbohong, maka bersikaplah jujur, tanpa harus berpikir bahwa kalau jujur nanti akan diganjar Tuhan, dsb.