Masih tentang pemikiran Hannah Arendt. Hannah Arendt mengajukan gaya berpikir anti-foundationalisme, gaya berpikir yang anti pada pijakan. Maksudnya adalah bahwa Arendt menolak gaya berpikir yang sifatnya totalitarian, yaitu memaksakan satu standar kebenaran dalam berpikir. Baginya, cara berpikir totalitarian tersebut bertentangan dengan pluralitas kenyataan hidup. Arendt memang dikenal sebagai filsuf yang tidak menganut aliran apapun dalam filsafat, entah itu esensialis ataukah eksistensialis, modern ataukah post-modern, strukturalis ataukah post-strukturalis, dsb. Kenyataan hidup yang plural ini jika ditanggapi hanya dengan satu cara berpikir saja, maka akan menjadikan hidup ini tidak relevan lagi dengan kenyataan. Untuk itu, dalam berpikir seseorang tidak perlu menetapkan diri pada fondasi berpikir tertentu saja. Ia semestinya dapat berpikir menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Selain itu, gaya berpikir totaliter akan mematikan daya kritis seseorang. Sebagai contoh seseorang yang merasa dirinya sebagai orang yang konservatif dan menetapkan dirinya untuk hanya mengikuti pemikiran atau ajaran konservatif, maka ia akan cenderung membenarkan apa saja ajaran konservatif tersebut dan menolak masukan dari aliran berpikir lainnya, meskipun masukan tersebut benar. Sementara itu, gaya berpikir anti-fondasionalisme akan dengan luwes bergerak dari gaya berpikir satu ke yang lainnya, menyesuaikan situasi yang dihadapi. Ia kadang bisa berpikir secara konservatif, namun kadang juga progresif, kadang esensialis, namun kadang juga eksistensialis, kadang objektif, namun kadang juga subjektif. Ia tidak bergantung dan terikat pada gaya berpikir tertentu.
Dunia ini memberikan banyak pilihan dalam hidup, sehingga sangat disayangkan apabila seseorang hanya terpaku pada satu pilihan saja, dan itu dianggap sebagai satu-satunya yang benar dan relevan dalam hidupnya. Sang filsuf Kohelet dalam Pengkhotbah 11:9-10 mengatakan, “Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan! Buanglah kesedihan dari hatimu dan jauhkanlah penderitaan dari tubuhmu, karena kemudaan dan fajar hidup adalah kesia-siaan.” (TB-LAI). Kohelet mendorong kita, selama masih ada kesempatan dalam hidup ini, untuk tidak ragu-ragu mengikuti dorongan hati kita masing-masing. Dorongan hati dan pandangan mata itulah yang relevan dengan hidup ini, karena keduanya pasti akan sesuai dengan kenyataan hidup ini. Apa yang dilihat oleh mata itulah kenyataan hidup, dan kemudian hati memberikan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan perasaan, senang, sedih, bahagia, tertekan, dsb. Jika pilihan hidup kita pada kenyataannya sudah tidak relevan lagi dengan hidup sekarang, maka beralihlah ke pilihan-pilihan yang lainnya. Jika sudah bosan dan merasa tidak prospektif lagi dengan satu profesi/pekerjaan yang digeluti saat ini, maka beralihlah ke pilihan-pilihan lainnya, yang sesuai dengan passion kita. Ini berlaku juga pada profesi yang sudah terlanjur disakralkan, yaitu profesi rohaniawan. Kadang seseorang tetap memaksakan diri bertahan sebagai rohaniawan, meskipun dalam dirinya sendiri merasa profesi tersebut sudah tidak relevan lagi baginya, karena tahu bahwa kalau meninggalkan profesi ini akan muncul hujatan-hujatan, seperti dianggap telah meninggalkan panggilan Tuhan, jatuh ke dalam godaan dunia, dsb. Padahal semua profesi adalah panggilan Tuhan. Sehingga semuanya itu adalah pilihan-pilihan hidup yang bisa kita pilih dan tingggalkan untuk beralih ke pilihan lainnya kapan saja ketika kita melihat bahwa pilihan yang baru tersebut lebih relevan dengan hidup kita saat ini. Yang saya bicarakan di sini juga termasuk pilihan untuk bergereja di gereja manapun.
Demikianlah gaya berpikir anti-fondasionalisme yang juga ditawarkan oleh Kohelet atau Pengkhotbah. Berpikirlah secara merdeka, dan nikmatilah hidup ini secara moderat, karena hidup ini singkat. Tidaklah perlu mengorbankan diri demi kesetiaan pada pada satu pilihan cara hidup, padahal ada alternatif-alternatif lain yang mungkin lebih relevan dengan hidup kita. Menarilah dengan ritme yang kita ciptakan sendiri, dan bukan di bawah tabuhan orang lain. Memang setiap pilihan tentunya ada konsekuensinya masing-masing, sebagaimana yang dikatakan Pengkhotbah, “karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan.” Yang maksudnya adalah bahwa Kohelet juga mengingatkan selalu ada konsekuensi yang harus siap dihadapi dalam setiap pilihan yang dipilih. Dan saya kira itu tidak masalah dan wajar saja. Seseorang yang meninggalkan pekerjaan yang selama ini telah memberikan kemapanan hidup untuk beralih ke pekerjaan lain tentu sudah tahu dan siap menghadapi konsekuensi kehilangan kemapanannya, paling tidak untuk sementara waktu.