Beberapa tahun terakhir ini ketika musim-musim penerimaan siswa baru sering terjadi kegaduhan. Hal itu salah satunya disebabkan oleh penerapan sistem zonasi. Sebenarnya, menurut saya, maksud Mas Menteri dengan menerapkan sistem tersebut adalah baik. Beliau ingin mengembalikan pada maksud semula keberadaan sekolah-sekolah negeri, yaitu untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak-anak untuk dapat mengenyam pendidikan. Sistem zonasi bermaksud untuk menghapus label-label sekolah favorit sehingga setiap siswa dapat memperoleh layanan pendidikan yang setara. Jika sekolah favorit akan memprioritaskan anak dengan prestasi dan nilai tertinggi, maka sekolah dengan sistem zonasi dimaksudkan untuk memprioritaskan anak dengan domisili tempat tinggal terdekat. Kegaduhan yang terjadi disebabkan karena masyarakat masih ber-mindset sekolah favorit, sehingga mereka tidak segan melakukan manipulasi data domisi agar bisa masuk sekolah favorit yang berada di luar zonanya. Akibatnya, anak yang berada pada zona sekolah tersebut akan terpental. Jadi, maksud sebenarnya pendirian sekolah-sekolah negeri adalah untuk memberikan kesempatan pendidikan yang sama. Namun seiring perjalanan waktu dan dipicu oleh semangat liberalisme pendidikan, maka sekolah-sekolah negeri tersebut berubah dari maksud awal “kesempatan yang sama” menjadi “privilege”. Hanya anak-anak dengan kualifikasi tertentu saja yang bisa masuk. Sekolah bukan lagi hanya hal belajar, namun sudah dibumbui dengan prestise atau kebanggaan tertentu.
Tentu saja saya tidak hendak berbicara panjang lebar tentang carut marut pendidikan di Indonesia tersebut. Namun fenomena tersebut memantik pikiran saya terhadap klaim keselamatan yang bersifat eksklusif. Sudah umum bahwa setiap agama atau kepercayaan mengklaim bahwa agama atau kepercayaannya adalah sebagai satu-satunya jalan keselamatan yang tersedia, dan di luar itu tidak akan selamat. Klaim yang demikian tentu saja juga ada dalam kekristenan. Bahkan tidak jarang ada pengkhotbah yang menyebut bahwa “keselamatan kita adalah privilege” untuk menegaskan keeksklusivan keselamatan tersebut. Salah satu ayat yang biasa dipakai untuk mendukung klaim eksklusif tersebut adalah Kisah Para Rasul 4:12, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan”. Dari situ timbul pertanyaan, apakah betul keselamatan itu bersifat privilege? Apakah keselamatan itu sifatnya eksklusif, di mana hanya orang-orang yang memenuhi kualifikasi yang ditetapkan dalam sistem kepercayaan tersebut yang boleh mendapatkan keselamatan? Saya akan mencoba menganalisanya, namun tidak dengan mengikuti begitu saja klaim kutipan ayat di atas. Saya akan berusaha mencermati narasi kehidupan jemaat pertama di Yerusalem pasca peristiwa Pentakosta.
Terbentuknya jemaat Kristen pertama di Yerusalem sebenarnya dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan (subversi) terhadap sistem keagamaan dan sosial masyarakat Yahudi pada saat itu. Para jemaat itu dipimpin oleh para rasul, di mana para rasul tersebut memiliki latar belakang yang sebenarnya tidak memenuhi kualifikasi sebagai pemimpin agama dalam konteks masyarakat Yahudi. Mereka bukanlah berlatar belakang imam, Lewi, atau pun rabbi, yang layak untuk memberikan pengajaran keagamaan. Praktik yang dilakukan oleh jemaat mula-mula ini jelas merupakan bentuk pembangkangan terhadap tatanan keagamaan yang sudah ada saat itu. Belum lagi cara hidup jemaat pertama yang saling berbagi dapat dibaca sebagai bentuk kritik terhadap penindasan yang dilakukan oleh otoritas Bait Suci. Otoritas Bait Suci menarik pajak yang tinggi dan juga persembahan-persembahan yang memberatkan masyarakat miskin, sementara komunitas jemaat Kristen justru mempraktikkan hidup yang saling berbagi dan saling menolong. Tidak ada sekat-sekat di antara anggota komunitas jemaat Kristen, sementara para pemuka agama Yahudi bersikap elitis. Itulah yang menyebabkan banyak orang tertarik dengan komunitas Kristen ini, sebagaimana juga yang disebutkan dalam Kis. 2:47. Siapakah yang tertarik itu? Tentu saja orang-orang yang juga selama ini merasa terpinggirkan dari tatanan kehidupan agama dan sosial masyarakat Yahudi. Kekristenan muncul sebagai jawaban alternatif bagi mereka yang merasa tidak diterima dengan baik di tatanan yang sudah ada selama ini.
Oleh karena sebagai alternatif, maka tidak lantas kita menganggap bahwa keyakinan yang sudah ada, dalam hal ini agama Yahudi, sebagai keyakinan yang salah dan kemudian digantikan oleh iman Kristen. Tidak lantas kemudian diartikan bahwa Tuhan menetapkan iman di dalam kekristenan sebagai satu-satunya jalan keselamatan untuk menggantikan kepercayaan yang sudah ada. Yang dapat dimaknai dari narasi jemaat mula-mula di Yerusalem adalah bahwa iman Kristen hadir sebagai opsi jalan keselamatan yang disediakan Tuhan bagi mereka yang saat itu tersingkir dari tatanan agama Bait Suci. Lantas bagaimana kita membaca klaim eksklusif dalam Kis. 4:12 yang dikutip di atas? Tentu saja kita juga membacanya tidak boleh terlepas dari konteks pergumulan jemaat Kristen tersebut. Klaim di ayat tersebut bukanlah merupakan klaim eksklusivitas keselamatan, namun merupakan upaya untuk menguatkan iman jemaat yang pada saat itu mengalami berbagai penganiayaan dan penindasan. Mereka diingatkan bahwa hanya dalam komunitas iman Kristen saja mereka selama ini diterima, dan jika kemudian karena penganiayaan mereka mundur dari iman Kristen, maka masih adakah tempat lain yang dapat menolong dan menyelamatkan mereka. Memang kemudian sama seperti fenomena masalah zonasi penerimaan siswa baru tersebut, klaim yang awalnya dimaksudkan untuk menguatkan iman jemaat yang dianiaya, bertransformasi menjadi klaim eksklusif jalan keselamatan oleh karena persaingan memperebutkan umat beragama.
Dengan berpijak dari uraian di atas, maka agama atau aliran apapun adalah merupakan opsi keselamatan yang disediakan Tuhan. Setiap orang dapat memilih yang sesuai dengan dirinya. Karena sifatnya pilihan, maka itu berarti tidak ada jalan keselamatan yang salah. Seseorang memilih untuk menganut agama atau aliran tertentu bukan karena agama atau aliran tersebut pasti memberikan keselamatan, karena sudah jelas tidak ada bukti empirisnya. Ia memilih karena itu dianggapnya yang paling sesuai dengan hidupnya. Emil Durkheim, seorang sosiolog, mengatakan bahwa jika suatu agama diterima dengan baik dalam suatu masyarakat, itu karena dalam masyarakat itu sendiri sudah ada nilai-nilai yang selaras dengan agama tersebut. Dengan demikian ketika kita menganut suatu keyakinan, maka sebenarnya itu karena dalam diri kita sendiri sudah ada ideal-ideal, cita-cita yang selaras dengan apa yang ditawarkan oleh sistem keyakinan tersebut. Dan untuk itulah tersedia banyak opsi yang untuk dipilih.