Anak yang Hilang, Bapa yang Tiran

Louis Althusser menunjukkan bahwa pendapat yang menyebut manusia itu individu yang bebas dan memilih berdasarkan pilihannya sendiri adalah pendapat yang salah. Menurut Althuser, manusia dilahirkan untuk mengabdi pada struktur sosial di mana ia hidup di dalamnya. Ia menyebut individu sebagai subjek (s) yang mengabdi kepada struktur yang disebut sebagai Subjek (S). Tujuan semuanya itu adalah dalam rangka mempertahankan struktur yang sudah ada. Untuk membuat s terus mengabdi pada S, maka instrumen yang paling efektif digunakan adalah ideologi. Melalui ideologi, s tidak akan merasa kepatuhannya untuk mengikuti struktur yang dibentuk oleh S sebagai sebuah keterpaksaan. Malah sebaliknya, s akan merasa bahwa itu sudah merupakan panggilan hidupnya yang sudah ditentukan dari sono-nya. Ideologi memang bekerja dengan cara interpelatif (memanggil). Setiap s akan ditanamkan bahwa karena s adalah bagian dari S, maka sudah sepatutnya bahwa s mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan S. Itu adalah panggilannya sebagai bagian dari S. Kata sakti yang digunakan adalah patuh atau taat. Ideologi ditanamkan secara halus, bahkan sangat halus dan mungkin secara menyenangkan, melalui institusi-institusi seperti agama, pendidikan, keluarga, budaya, seni, dsb. Saking halusnya penanaman ideologi, sampai-sampai s akan tidak sadar bahwa ia telah kehilangan kebebasannya, dan baginya sepertinya hanya ada satu-satunya pilihan yang benar yang harus ia pilih, yaitu yang disediakan oleh S. Inilah yang oleh Althusser disebut sebagai tidak sadar. Berbeda dengan Karl Marx yang menyebutnya sebagai kesadaran palsu.

Untuk memperjelas bagaimana ideologi bekerja menghilangkan kesadaran individu sehingga individu tidak lagi menjadi individu yang otentik, saya akan menarasikan perumpamaan anak yang hilang, yang tercatat dalam Lukas 15:11-32. Dalam perumpaan ini diceritakan ada seseorang yang mempunyai dua orang anak lak-laki. Anak yang bungsu menuntut kepada bapanya harta yang menjadi bagiannya. Setelah menjual semua harta yang diperoleh tersebut, si bungsu lalu pergi ke negeri yang jauh. Rupanya dalam diri si bungsu mulai timbul kesadaran bahwa ia berhak untuk ke luar dari rumah dan menentukan pilihan hidupnya sendiri. Namun sayang, ia tidak bisa dengan baik mengelola harta yang dimilikinya sekarang sehingga hal yang bisa ia lakukan adalah menghabiskan harta tersebut secara konsumtif. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa bapanya selama ini dengan sengaja tidak mengajarkan dan mempersiapkan anak-anaknya untuk hidup mandiri sehingga ketika si bungsu mendapatkan modal untuk hidup mandirinya, maka ia tidak tahu cara mengelolanya. Di sini bisa diduga bahwa si bapa menginginkan anak-anaknya untuk tetap di rumah dan mengabdi bagi kepentingannya demi bertahannya struktur yang sudah berjalan di rumah itu, sehingga ia hanya mau mengajarkan dan mendidik anaknya untuk pekerjaan-pekerjaan bagi kepentingan rumahnya.

Setelah habis uangnya dan terjadi bencana kelaparan, maka si bungsu bekerja menjaga babi agar bisa makan. Di sini kembali terlihat ia tidak memiliki inisiatif yang lain (yang sepertinya memang tidak dibiasakan oleh bapanya) selain menjadi hamba bagi orang lain. Dalam pekerjaannya itu ia teringat kembali akan rumahnya dan bagaimana hamba bapanya hidup dengan lebih layak dibandingkan dirinya saat ini. Oleh karena itu ia berniat untuk pulang kembali ke rumah bapanya dengan mengakui bahwa dirinya telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa. Sungguh sangat disayangkan keputusan si bungsu untuk kembali ke rumah bapanya dan bahkan menawarkan dirinya menjadi hamba bagi bapanya. Seolah-olah tidak ada pilihan lain dari hidupnya selain pulang dan kembali lagi hidup di bawah kendali bapanya. Orang lain saja kadang punya semboyan “pantang pulang sebelum sukses”. Semestinya kalau memang ia merasa susah bekerja menjaga babi, ia bisa mencoba pekerjaan lain sampai berhasil. Namun memang seperti itulah ideologi ditanamkan dan bekerja pada diri individu. Si bungsu merasa bahwa di rumah bapanya adalah merupakan pilihan satu-satunya yang benar. Meninggalkan rumah bapanya baginya adalah sebuah dosa, bukan hanya terhadap bapanya tetapi bahkan kepada Tuhan. Tindakannya dulu yang pergi meninggalkan rumah bapanya, ia anggap sebagai kesalahan, dan bukan sesuatu yang wajar dalam rangka hidup mandiri. Namun mungkin memang itulah yang selama ini diajarkan oleh bapa kepadanya sehingga si bungsu tahunya ya hanya itu yang betul.

Si bungsu lalu pulang, dan ketika bapanya melihatnya, ia menyambutnya dengan sukacita dan mengadakan pesta baginya. Si sulung yang baru saja pulang dari ladang ketika mengetahui bapanya mengadakan pesta bagi adiknya yang telah kembali, menjadi marah. Ia marah karena merasa bapanya memperlakukannya secara tidak adil. Adiknya yang sudah menghabiskan hartanya disambut dengan pesta, tetapi ia yang selalu patuh pada bapanya, sama sekali bapanya malah belum pernah mengadakan pesta baginya. Si bapa dengan kelihaiannya berupaya menenangkan si sulung dengan mengatakan bahwa bagaimanapun juga apa yang dimiliki bapa adalah juga milik si sulung. Dengan perkataan tersebut ia “menyihir” si sulung agar tetap mematuhinya. Status kepemilikan adalah pada si sulung, namun kekuasaan atas harta tersebut tetap di tangan bapanya. Meskipun memiliki, namun si sulung tetap tidak bisa berbuat apa-apa terhadap hartanya tanpa restu bapanya.

Begitulah si bapa menanamkan ideologi kepada anak-anaknya dengan sangat berhasil sehingga anak-anaknya menjadi anak yang terhilang, yaitu hilang kesadarannya. Baik si sulung maupun si bungsu tidak sadar adanya pilihan-pilihan lain dalam hidup, yang akan bisa menjadikan mereka sebagai manusia yang otentik. Manusia yang otentik adalah manusia yang menjadi dirinya sendiri, yang hidup atas dasar sepenuhnya dari pilihan hidupnya sendiri. Dapat dikatakan si bapa tersebut adalah bapa yang tiran, karena tidak mengijinkan adanya pilihan-pilihan lainnya dalam hidup ini yang boleh dijalani oleh anak-anaknya. Melalui didikan atau asuhan, anak-anaknya diarahkan pada pemahaman tunggal bahwa yang paling benar adalah hidup di rumahnya, bekerja baginya, dan mempertahankan struktur yang telah ia bangun di rumah itu. Bapa yang tiran ini adalah merepresentasikan otoritas-otoritas apapun yang tidak mengijinkan adanya alternatif-alternatif. Bisa institusi agama, keluarga, pendikan, tempat kerja, masyarakat, dan juga negara. Saya sering sekali mendengar adagium yang dilontarkan di ruang ibadah, “kita tidak bisa hidup di luar Tuhan”. Yang dimaksud dengan “Tuhan” di situ tentu sebenarnya adalah agama tertentu atau aliran tertentu atau ajaran tertentu atau tokoh agama tertentu atau nilai-nilai religius tertentu. Padahal pada kenyataannya sangat bisa hidup di luar yang tertentu-tertentu itu, karena memang realitas di dunia ini menyediakan banyak alternatif. Otoritas-otoritas tiran akan menciptakan pengikut-pengikut yang terhilang. Terhilang kesadarannya akan adanya kebebasan untuk memilih dalam hidup ini.