Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu (Mazmur 37:3-4, TB-LAI).
Jika kita mau secara jujur membandingkan antara banyaknya keinginan yang terwujud dengan yang tidak terwujud, maka tentu saja lebih banyak keinginan kita yang tidak terwujud. Itulah sebenarnya realitas kehidupan yang diungkapkan oleh Friedrich Nietzche dengan Filsafat Kehendak-nya. Keinginan yang terwujud itu ia umpamakan seperti melemparkan uang kepada pengemis, di mana hal itu akan memuaskan dirinya dalam sesaat untuk kemudian memperpanjang penderitaannya. Itu adalah untuk menggambarkan bahwa keinginan yang tidak terwujud jauh lebih banyak daripada yang dapat terwujud, dan itu membawa banyak kekecewaan dalam hidup kita. Namun, itulah realitas kehidupan, ada yang baik, namun ada yang buruk, ada yang menyenangkan, ada yang juga yang menyusahkan, yang semuanya harus diterima sebagai realitas apa adanya. Memegang kuat-kuat sebagian realitas dan membunuh sebagian realitas lainnya adalah bagaikan hidup dalam ilusi. Hidup ini adalah kemungkinan-kemungkinan.
Lalu bagaimana dengan teks di atas yang terkesan mem-fiksasi, bahwa jika seseorang telah berbakti kepada Tuhan, maka segala apapun yang diinginkan akan terwujud? Sebagaimana filsafat Nietzche tersebut, saya kira cara memegang sebagian realitas kehidupan tersebut tetaplah bisa juga dilihat secara positif, selama tidak mengabaikan adanya kemungkinan lainnya. Ilusi dapat menjadi obat yang menyehatkan bagi hidup, sama seperti bius dalam dosis tertentu yang diperlukan untuk meredakan rasa sakit seseorang sehabis dibedah. Melalui ilusi, manusia dapat bergembira dan mendapatkan semangat dalam hidup. Saya kemudian menangkap maksud teks tersebut untuk memberikan semangat sekaligus juga pegangan dalam hidup, karena manusia tidak bisa juga terus menerus hidup dalam ketidakpastian kemungkinan-kemungkinan. Yang wajib dihindari adalah apabila hal itu membuat manusia menjadi kecanduan terhadap ilusi, sehingga sebagian realitas kehidupan yang tidak disenanginya disingkirkannya. Realitas hidup harus diterima secara apa adanya, yang iya dan yang tidak. Memegang salah satu realitas, namun tanpa memutlakkannya sebagai satu-satunya realitas.