Manusia untuk Hari Sabat ataukah Hari Sabat untuk Manusia?

Masih terkait dengan pandemi Covid-19 yang melanda berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, maka pemerintah Indonesia mengeluarkan himbauan agar bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Himbauan yang terakhir ini nampaknya menimbulkan perdebatan. Ada gereja yang merespon dengan meniadakan ibadah raya atau ibadah dalam jumlah masa yang besar dan menggantikannya dengan ibadah dalam kelompok-kelompok kecil. Namun ada juga yang tidak setuju dengan himbauan tersebut karena merasa bahwa ibadah bersama di gereja adalah suatu kewajiban, yang kalau tidak dilakukan akan mendatangkan hukuman Tuhan.

Saya ingat ketika Yesus dan murid-murid-Nya pada hari Sabat berjalan di ladang gandung, dan sementara berjalan murid-murid-Nya memetik bulir gandum, dan tentu saja karena lapar mereka memakannya (Mrk. 2:23). Orang-orang Farisi ketika melihat apa yang dilakukan murid-murid Yesus tersebut mengecamnya dan berkata kepada Yesus, “Lihat! Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?” (Mrk. 2:24). Murid-murid Yesus dianggap telah menistakan hari Sabat, melanggar kekudusan hari Sabat, melanggar aturan hari Sabat. Namun, Yesus menjawab orang-orang Farisi tersebut dengan menyebut suatu peristiwa ketika Daud dan orang-orangnya kekurangan dan kelaparan, mereka masuk ke Bait Suci dan kemudian makan roti sajian, yang menurut aturan hanya boleh dimakan oleh para imam (Mrk. 2:25-26). Dan tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada diri Daud dan para pengikutnya, meski telah melanggar kekudusan roti sajian tersebut.

Dari situ Yesus hendak menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan melebihi agama dengan segala ritusnya, berbeda dengan pandangan orang-orang Farisi maupun golongan-golongan agamis lainnya yang justru menempatkan kemanusiaan dibawah agama dan ritualnya. Tidaklah mengherankan kemudian jika bagi kelompok-kelompok agamis, menista agama dianggap lebih buruk daripada menista manusia. Yesus menunjukkan sikap yang berbeda, bagi-Nya agama dan segala ritualnya dibuat untuk kebaikan manusia, maka Ia mengatakan, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk. 2:27).

Hari Sabat diadakan dengan tujuan untuk memanusiakan manusia. Enam hari lamanya manusia bekerja, dan manusia membutuhkan istirahat dari pekerjaannya, dan di hari Sabat itulah manusia dapat beristirahat. Hari Sabat juga berangkat dari ketika Allah memberkati hari ketujuh setelah Ia menciptakan alam semesta seisinya selama enam hari lamanya. Hal itu mengandung suatu sukacita perayaan (festivity), yang dengan demikian seharusnya juga membawa sukacita yang besar dan bukan sebaliknya, menjadi penghalang bagi mereka yang kelaparan untuk mendapatkan makanan, penghalang bagi mereka yang sakit untuk mendapatkan kesembuhan. Sekali lagi, manusialah yang dilayani oleh hari Sabat ini.

Menurut saya, dengan berangkat dari pandangan Yesus terhadap hari Sabat itu, ibadah (bersama) adalah suatu kebutuhan. Saya menganalogikan dengan makan sebagai suatu kebutuhan, namun bukan kewajiban. Oleh karena itu ketika kita sakit, kita butuh makanan, namun tidak wajib memasukkan makanan melalui mulut, sehingga makanan bisa masuk melalui selang infus. Ibadah dapat dilakukan dengan berbagai cara, tempat, dan waktu. Kreativitas dalam mengatur ibadah, dalam berbagai situasi, akan dapat membawa pada esensi ibadah untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan bukan sebaliknya mendatangkan hal yang tidak baik bagi manusia.