Menyerah juga Merupakan Tindakan Terpuji

Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku, dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu (Ayub 42:6, TB-LAI)

Minggu, 13 Juni 2021, Wali Kota Bogor, Bima Arya, menyampaikan bahwa Pemkot Bogor telah berhasil mengakhiri sengkarut GKI Yasmin dengan menghibahkan tanah sebagai relokasi gedung gereja yang selama ini ditutup. Beliau mengklaim bahwa keputusan tersebut telah disetujui oleh pengurus GKI Yasmin. Namun ternyata tidaklah demikian. Bukan hanya sebagian pengurus saja yang menolak keputusan tersebut, namun termasuk juga LBHI yang menyebut bahwa keputusan relokasi tersebut adalah contoh buruk tidak menghormati lembaga peradilan, di mana Mahkamah Agung (MA) memutuskan bahwa IMB gereja tersebut sah. Banyak juga muncul dorongan dari berbagai pihak untuk menolak relokasi tersebut. Saya dapat memahami bahwa munculnya penolakan relokasi tersebut bukanlah didorong oleh keinginan menang-kalah, tetapi oleh keinginan terwujudnya keadilan dan supremasi hukum. Apabila relokasi tersebut diterima, maka dikhawatirkan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum. Hukum tidak lagi berkuasa, namun yang berkuasa adalah mayoritas. Namun demikian, saya memiliki refleksi tersendiri dengan berangkat dari kisah Ayub.

Kitab Ayub mengkisahkan bagaimana perdebatan antara Ayub dengan kawan-kawannya, di mana mereka menuduh Ayub telah berdosa sehingga mengalami penderitaan yang sedemikian berat. Sebaliknya, Ayub kukuh bertahan dan mengatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Ayub mempertanyakan keadilan Tuhan atas apa yang terjadi pada dirinya. Ia sudah berusaha hidup saleh, namun mengalami nasib lebih buruk daripada orang fasik. Pada akhirnya, Tuhan menjawab Ayub di pasal 38-41. Anehnya alih-alih menunjukkan apa itu kebenaran kepada Ayub, Tuhan justru menunjukkan kekuasaan dan kedasyatan-Nya. Dengan demikian jelas bahwa Tuhan benar karena Ia berkuasa. Kebenaran ditentukan oleh kekuasaan. Akhirnya, Ayub merespon di 42:1-6. Di ayat 6 tersebut Ayub mencabut perkataannya dan menyesal. Ia menyerah. Ia merasa telah percuma saja berperkara dengan Tuhan, karena sehebat apapun Ayub berargumen dan membuktikan kebenarannya semuanya itu sia-sia di hadapan kemahakuasaan Tuhan.

Menyerah tidak selalu merupakan keputusan yang buruk. Sama seperti Ayub yang menyerah karena merasa tidak ada gunanya lagi beradu argumen dengan Tuhan. Kembali ke masalah GKI Yasmin, nampaknya patut untuk mempertimbangkan menerima tawaran relokasi. Sudah 15 tahun masalah itu berlangsung dan menghabiskan banyak energi. Tentunya ada suatu titik untuk berhenti dari upaya perjuangan yang sudah dilakukan. Perlu pertimbangan yang rasional, dan bukan emosional semata, bahwa kita berhadapan dengan kekuasaan yang “berhak” menentukan kebenaran. Namun demikian, menyerah yang saya maksud hanyalah pada tataran tindakan saja, yaitu dengan menerima relokasi. Perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran harus tetap dijalankan dengan terus menghidupkan diskursus-diskursus di berbagai kesempatan. Ketidakadilan tersebut harus terus digugat dan dipertanyakan melalui wacana-wacana sehingga kesadaran yang sesungguhnya akan kebenaran dan keadilan tetap terbangun dan terjaga.