Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. (Pengkhotbah 2:24, TB-LAI)
Bagi orang yang beriman atau orang yang beragama, sorga adalah menjadi tujuan akhir hidup yang diidam-idamkan. Sorga dideskripsikan sebagai suatu tempat di akhirat yang penuh dengan sukacita, kedamaian, keindahan, dan segala sesuatu yang menyenangkan. Tidak ada lagi di sana kesusahan, sakit penyakit, dan penderitaan. Namun demikian, gambaran mengenai sorga yang demikian membuat saya berpikir, bukankah itu membuat manusia kehilangan kodrat kemanusiaannya? Ketika Tuhan menciptakan manusia, Tuhan menempatkan manusia di taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu (Kej. 2:15). Hal itu mengandung maksud bahwa hidup manusia penuh dengan perjuangan, atau hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari bekerja atau berjuang. Itu sudah menjadi kodrat manusia. Belum lah dianggap menjadi manusia seutuhnya apabila belum melakukan perjuangan dalam hidupnya. Oleh karena itu, orang Jawa seringkali menyebut orang yang sudah mencapai kemandirian hidup melalui perjuangan dan pekerjaannya disebut wis dadi uwong (sudah menjadi manusia). Jika demikian maka keadaan di sorga sebenarnya adalah keadaan dihancurkannya kodrat manusia, karena di sana tidak dapat dirasakan lagi nikmatnya perjuangan, karena tidak ada lagi diceritakan ada perjuangan apa pun di sana. Yang ada hanya senang-senang saja. Jika demikian juga berarti tidak diperlukan lagi identitas yang berbeda-beda, karena toh pada akhirnya yang dilakukan semua manusia sama di sana nanti.
Jadi tidak ada bedanya sebenarnya ide tentang adanya neraka dan sorga dibandingkan dengan ide dunia orang mati (sheol) yang dikenal dalam Perjanjian Lama. Sheol dipahami sebagai tempat bagi semua orang mati, tanpa pengecualian dan pembedaan. Tempat di mana eksistensi manusia lenyap. Bukankah ide itu sama saja dengan ide tentang sorga dan neraka. Tentu saja jika diperbandingkan, sorga menjadi pilihan yang lebih baik daripada neraka. Namun demikian, keduanya adalah tempat dihancurkannya eksistensi manusia, yang satu dihancurkan melalui kesengsaraan, dan yang satunya melalui kenikmatan. Oleh karena menimbang perkara yang demikian, Pengkhotbah memberikan pemikiran yang realistis bagi manusia, yaitu bahwa ketimbang terus-terusan memikirkan sorga dan mengarahkan seluruh hidupnya ke sorga hingga mengabaikan dan menganggap segala yang di dunia ini sebagai sia-sia, tidak lebih berguna dibandingkan dengan urusan sorgawi, maka lebih baik manusia menikmati apa yang ada di dunia ini. Dunia ini memang penuh dengan perjuangan, yang seringkali perjuangan itu begitu kerasnya, namun demikian, selalu ada kenikmatan dari perjuangan itu karena memang itulah kodrat manusia sebagaimana Tuhan ciptakan. Tanpa berjuang, tanpa bekerja, tanpa berusaha, manusia telah kehilangan eksistensinya yang sejati. Dunia ini, dengan segala jerih payahnya, ternyata adalah tempat yang paling cocok bagi manusia. Oleh karena itu, manusia harus mengusahakan yang terbaik di dunia ini, karena itulah yang memberikan kenikmatan sejati baginya. Tidak perlu menyia-nyiakan kenikmatan di dunia ini hanya demi angan-angan akan kenikmatan di akhirat, karena sudah tentu kenikmatan keduanya berbeda. Kenikmatan di dunia tidak akan sama dengan kenikmatan di akhirat.