Panoptik: Diskontinu yang Berefek Kontinu

Mata TUHAN ada di segala tempat, mengawasi orang jahat dan orang baik (Ams. 15:3, TB-LAI).

Beberapa waktu yang lalu Nikita Mirzani melemparkan suatu pernyataan bahwa dirinya tidak tergila-gila untuk masuk surga dan juga tidak takut masuk neraka. Kontan saja pernyataan tersebut menimbulkan reaksi negatif dari pemuka agama maupun netizen, yang pada intinya mendesaknya untuk segera bertobat sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Secara pribadi, saya bisa memaklumi pernyataan Nikita tersebut, yang sebenarnya kalau mau diakui, juga dirasakan oleh banyak orang, hanya saja sebagai public figure pernyataannya dengan cepat menjadi perhatian banyak orang. Surga sudah bukan lagi menjadi tawaran yang menarik, karena yang selama ini diceramahkan adalah surga yang berisi kenikmatan-kenikmatan yang dapat ditemui di dunia. Jadi, kalau di dunia saja bisa didapatkan untuk apa mengejar dan tergila-gila dengan yang belum pasti. Pun demikian halnya dengan neraka yang sudah tidak menakutkan lagi, oleh karena sudah terlalu sering digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti. Sejak kecil kalau membuat kesalahan selalu ditakuti dengan kata-kata “awas masuk neraka lho nanti.”

Michel Foucault, dalam teorinya tentang hubungan kekuasaan dan pengetahuan, tidak sekedar menyebutkan bahwa pengetahuan akan menghasilkan kekuasaan, tetapi ia juga mengatakan bahwa kekuasaan akan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan akan menentapkan pengetahuan mana yang benar, dan dengan demikian akan mendirikan sebuah rezim kebenaran dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Tentang relasi kekuasaan dan pengetahuan ini secara lebih lengkap akan saya jelaskan pada artikel selanjutnya. Dalam rangka mempertahankan kekuasaan tersebut, Foucault menyebut bahwa teknik yang digunakan adalah dengan membidik kepatuhan. Teknik tersebut dengan memanfaatkan efek panoptic. Panoptik sendiri adalah berasal dari model penjara abad pertengahan di mana di tengah-tengah kompleks penjara ada mengara pengawas dengan lampu sorot yang berputar menyoroti setiap ruang tahanan. Hal tersebut memberikan efek seolah-olah narapidana tersebut terus menerus merasa diawasi, meskipun sebenarnya bisa saja ketika lampu tersebut menyorot pada satu ruang, sang penjaga malah tertidur, namun karena narapidana tidak dapat melihat sang penjaga maka ia akan merasa sedang dilihat oleh penjaga sehingga tidak berani berbuat apa-apa.

Sifat dari sistem panoptik ini adalah pengawasan bersifat diskontinu, tetapi efeknya bersifat kontinu. Salah satu contoh implementasi sistem panoptik adalah inspeksi mendadak (sidak). Misal, diumumkan bahwa suatu kali akan dilakukan sidak untuk memeriksa handphone siswa. Siswa yang ketahuan membawa handphone akan mendapatkan hukuman. Sidak tidak secara terus menerus dilakukan, hanya sesekali saja, namun efeknya siswa merasa “dihantui.” Siswa menjadi tidak berani membawa hp ke sekolah, karena takut jangan-jangan pas bawa hp malah pas ada sidak. Siswa menjadi patuh terhadap aturan larangan membawa hp, namun bukan karena kesadaran akan dampak negatifnya, tetapi lebih karena takut dengan ancaman hukumannya. Sistem panoptic membuat kekuasaan berjalan secara efektif. Aktualisasi kekuasaan tidak diperlukan, namun efeknya terus dirasakan.

Kutipan dari kitab Amsal di atas dapat dikategorikan sebagai suatu implementasi dari sistem panoptik. Ideologi hikmat adalah merupakan bagian dari ideologi kerajaan Israel (dinasti Daud), selain teologi penciptaan, yang dimanfaatkan dalam rangka membidik kepatuhan warganya. Kerajaan tidak mungkin terus menerus dapat mengawasi perilaku warganya, terutama yang dianggap dapat membahayakan kelangsungan kekuasaan kerajaan. “Mata Tuhan” menjadi sistem yang efektif untuk membangun kepatuhan warganya, yang seolah-olah berkata “jangan macam-macam, meskipun raja tidak melihat, tapi Tuhan selalu melihat.” Tentu saja tidak selalu hal itu dinilai negatif. Kadang memang ada yang harus dipaksa untuk berbuat baik, atau ditakut-takuti agar tidak berbuat buruk. Namun demikian, membangun kepatuhan dengan menakut-nakuti pada akhirnya juga bisa membuat orang tidak takut lagi, terutama jika sudah mulai bangkit sebuah kesadaran pada diri seseorang. Apalagi kalau hal itu dilakukan dalam rangka mempertahankan suatu kekuasaan tertentu.