“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Matius 18:3, TB-LAI).
Dengan memanfaatkan metafor ajaran Zoroaster tentang perjalanan roh, Friedrich Nietzsche menguraikan moralitas/mentalitas yang ada dalam diri manusia. Nietzsche membagi ke dalam, moralitas budak vs moralitas tuan, di mana moralitastuan akan membentuk kategori manusia yang ia sebut sebagai ubermensch (manusia unggul). Dalam perjalanannya, roh bertransformasi dalam wujud binatang unta. Menurutnya, ini adalah metafor iya-naif, yaitu mentalitas yang mengiyakan segala sesuatunya. Unta selalu tidak keberatan dibebankan beban yang berat, bahkan ketika sudah terbiasa dengan suatu beban, maka beban itu terasa ringan dan meminta untuk dibebankan yang lebih berat lagi, dan begitu seterusnya. Ini adalah kategori moralitas budak. Orang beragama yang senantiasa bahagia menuruti beban-beban perintah agama dapat menjadi contohnya. Orang-orang yang demikian biasanya merasa jika semakin banyak mendapatkan perintah, maka hidupnya mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Perjalanan roh selanjutnya adalah bertransformasi dalam wujud binatang singa. Dari sebelumnya iya-naif menjadi aku mau. Ini pun masih dikategorikannya sebagai moralitas budak. Singa adalah raja hutan, sang penguasa, sang pemenang. Namun di balik aumannya yang menggetarkan, tersembunyi ketakutan. Ia takut kelaparan, takut tidak mendapatkan mangsa. Orang-orang fanatik adalah sebagai contohnya. Mereka yang fanatik selalu berupaya agar keyakinannya, nilai-nilai yang dipegangnya juga diikuti oleh orang lain. Memang nampaknya superior, namun sebenarnya semua itu didorong oleh ketakutan. Takut kehilangan pengikut, takut jika pada akhirnya hanya dia sendirilah yang meyakini nilai-nilainya. Dan perjalanan terakhir roh adalah bertransformasi dalam wujud manusia bayi. Inilah yang justru dikategorikannya sebagai moralitas tuan. Bayi adalah kebermulaan dan ketidakberpikiran. Seorang bayi bisa menyukai suatu mainan, dan dalam waktu yang tidak lama meninggalkan mainan itu bahkan membantingnya, bukan karena benci tetapi karena bosan dan ingin mencoba yang lainnya, dan bisa nantinya kembali lagi ke mainan itu. Ia bermain tanpa berpikir kegunaan, dan semata-mata ia menikmati atau menyenanginya saja. Ia bisa bertengkar, tetapi dalam waktu singkat bermain kembali. Ia tidak bergantung pada kondisi luar untuk menentukan dirinya, tetapi dirinyalah sendiri yang menentukannya. Nietzsche mencontohkan orang-orang pedesaan yang jauh dari kefanatikan dan menikmati hidup apa adanya sebagai contoh moralitas ini.
Yesus juga banyak mengambil gambaran anak kecil sebagai orang yang bisa masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Di tengah banyaknya orang-orang dewasa yang berjuang dengan berbagai cara untuk impiannya tentang Kerajaan Sorga, baik melalui ketaatan semaksimal mungkin dalam hidup beragama maupun berjuang menjadi yang terdepan dalam “prestasi” beragama, Yesus justru mencontohkan anak kecil sebagai yang berhak atas Kerajaan Sorga. Kerajaan Sorga itu sudah ada di bumi, meskipun dengan tetap menantikan penyempurnaannya nanti. Jika ingin menikmat Kerajaan Sorga, maka nikmati saja kehidupan ini, seperti seorang anak yang menikmati kehidupannya. Lakukan apa yang disukai, tanpa harus berpikir apakah orang lain suka atau tidak, berguna atau tidak. Bagaikan seniman sejati yang tidak memikirkan karyanya akan berguna atau tidak, dan semata-mata ingin mengekspresikan dirinya sendiri melalui karyanya. Memang tampaknya egois, tapi apa salahnya? Justru itulah manusia unggul, yang tidak bergantung pada apa yang ada diluar untuk bahagia.