You Are What You Think

Saat ini Indonesia sedang menghadapi mewabahnya virus Corona, atau yang dikenal dengan nama Covid-19. Virus ini pertama kali mewabah di kota Wuhan, RRC. Jika memperhatikan saat ini nyaris tidak lagi terdengar berita mewabahnya virus tersebut di RRC. Mereka telah berhasil mengatasi virus tersebut. Tidak ada lagi kasus baru orang yang terinfeksi Covid-19 di RRC, yang ada adalah kasus imported (orang yang terinfeksi ketika melakukan perjalanan ke luar negeri). Keberhasilan tersebut tidak lepas dari bagaimana mereka melihat wabah tersebut sebagai masalah kemanusiaan yang memanggil mereka untuk bersatu bertindak menyelesaikannya.

Di Indonesia? Seperti biasanya, wabah tersebut tidak sekedar menjadi masalah kemanusiaan, namun juga menjadi masalah iman (agama) dan politik, bahkan mungkin yang mendominasi adalah dua hal terakhir tersebut. Masih segar dalam ingatan, ketika virus tersebut mewabah di Wuhan, maka bukannya muncul pandangan-pandangan yang bersimpati terhadap mereka yang mengalami itu, sebaliknya justru menghubungkan wabah penyakit itu sebagai hukuman Tuhan kepada bangsa Tiongkok.

Pandangan yang demikian tidak berbeda dengan pandangan murid-murid Yesus ketika mereka melihat seorang buta dalam Yohanes 9:1-2, “Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?”.” Pandangan murid-murid Yesus adalah pandangan umum masyarakat Yahudi yang religius ketika menanggapi penyakit ataupun bentuk-bentuk penderitaan lainnya, yang melihatnya sebagai hukuman Tuhan, dan tentunya obatnya adalah bertobat. Sama seperti masyarakat Indonesia yang religius ini, pandangan tersebut selalu menyertai dalam tanggapannya terhadap penyakit atau penderitaan. Dan yang diharapkan oleh orang-orang yang demikian adalah RRC bertobat dalam arti tidak lagi menindas agama yang kita yakini, dan kalau perlu masuk dalam keyakinan agama kita. Nah, repotnya sekarang wabah tersebut malah menyerang kita-kita yang agamis itu, trus bagaimana?

Yesus tidak sama pandangannya dengan murid-muridnya, “Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (Yoh. 9:3). Yesus tidak memandang kebutaan orang tersebut karena hukuman Allah, namun sebaliknya sebagai saat di mana pekerjaan Allah dinyatakan. Bukankah Allah yang kita percayai adalah Allah yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan baik? Sulit dibayangkan bagaimana Tuhan yang menciptakan alam semesta ini dengan baik, Ia juga menciptakan penyakit untuk menghancurkan kehidupan.

Kebutaan orang itu, bagi Yesus adalah suatu panggilan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa yang mengutus-Nya, “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja” (Yoh. 9:4). Melalui wabah virus Covid-19 kita dipanggil untuk melakukan karya-karya yang baik, untuk mewujudkan kehidupan yang baik, yang juga dikehendaki Allah. Ini saatnya kita melayani sesuai panggilan kita. Yang dipanggil sebagai rohaniwan, doakan semua orang agar ditolong Tuhan dari ancaman virus ini. Yang sebagai tenaga medis, tolong mereka yang terinfeksi dengan penuh pengabdian kepada kemanusiaan. Yang duduk dalam pemerintahan, layani masyarakat dengan kebijakan-kebijakan yang membawa kebaikan di tengah berbagai ancaman akibat wabah virus ini. Mematuhi himbauan otoritas kesehatan melalui pemerintah juga adalah Merupakan bentuk pekerjaan Allah untuk mencegah penyebaran virus ini.

Jika pikiran kita masih sama seperti pikiran murid-murid Yesus, yang juga mewakili pikiran masyarakat religius pada umumnya, maka kita tidak akan dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan dari Allah. Kita hanya akan bersikap menghakimi orang lain, yang justru akan memperberat penderitaan orang tersebut. Berpikirlah sebagaimana yang Yesus pikirkan.